Seandainya aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, aku tidak akan pernah mengenalnya. Yah, meski hanya sebuah nama.
***
Seharusnya aku sudah tahu jika akhirnya akan menjadi seperti ini. Seharusnya sejak awal semuanya tidak dimulai. Betapa bodohnya aku berharap bahwa semuanya akan berubah. Berharap bahwa suatu saat, salah satu dari kami akan berkorban. Tapi buktinya, harapan itu hanyalah sebuah harapan kosong.
***
Dua cangkir kopi yang asapnya masih mengepul menghiasi pertemuan kami di sebuah kafe. Kafe yang menjadi saksi bisu pertemuan pertama kami.
Lelaki yang ada di hadapanku mulai menyeruput kopinya. Ia belum bicara sejak tadi. Aku tahu, dia menungguku berkata-kata.
Detik-detik berlalu dan aku belum juga bicara. Sejujurnya, aku tidak ingin membicarakan ini. Memikirkannya saja sudah berat. Apalagi jika mengingat dampak dari pembicaraan ini.
"Bagaimana?" dia akhirnya bertanya.
Aku menunduk. Tidak berani memandang wajahnya. Aku belum siap untuk mengeluarkan kata-kata. Lidahku terasa kaku.
"Ros," dia memanggilku lembut. Aku tahu jelas, di balik nada lembutnya, dia menuntut sebuah penjelasan. Penjelasan yang sudah ditunggu-tunggu olehnya sejak lama, sejak dua bulan lalu. Sejak dia memberikan sebuah cincin yang sampai saat ini belum pernah betengger di jari manisku.
Aku menarik napas panjang, mengumpulkan oksigen sebanyak-banyaknya, lalu dengan berat hati, aku menggeleng lemah, "Maaf, aku tidak bisa."
Dia mengembuskan napas panjang, "Aku sudah tahu kamu pasti akan mengatakan hal ini."
Jika kamu sudah tahu, kenapa harus mengajakku bertemu?
Ingin sekali aku bertanya seperti itu. Tapi nyatanya, pertanyaan itu tersangkut di kerongkongan, kemudian tertelan lagi dan tidak pernah keluar.
Setelah itu, kami tidak saling bicara. Yah, karena memang sudah tidak ada yang bisa dibicarakan lagi.
***
Entah bagaimana jadinya jika aku tidak pernah bertemu dia. Apa mungkin aku sekarang sudah bahagia? Atau justru keadaanku lebih terpuruk dari ini?
Jika kau penasaran seperti apa pertemuan yang aku bicarakan, baiklah. Akan aku ceritakan.
Kala itu, ketika aku keluar dari sebuah kafe. Ada seorang lelaki menghampiri. Dia membawa sebuah buku tulis bersampul biru. Buku yang tidak asing. Ah, aku baru ingat bahwa buku itu tempatku mencatat semua hal-hal penting yang mungkin saja aku lupakan—jadwal kuliah, misalnya.
Lelaki yang belum kuketahui namanya itu menyerahkan buku bersampul biru, “Ini milikmu, kan?” Dia menarik ujung-ujung bibirnya, membentuk sebuah lengkungan.
Ah, betapa cerobohnya aku meninggalkan buku itu di sana.
Aku mengangguk sembari menerima buku bersampul biru itu, “Terimakasih.”
“Sama-sama, Rosa.”
Aku mengerutkan kening ketika mendengar namaku disebut. Bagaimana bisa ia tahu namaku? Oh iya, tentu saja itu karena nama yang tertera di buku ini.
Pertemuan pertama. Jika ada pertemuan pertama, maka ada pertemuan kedua. Jika kau berpikir bahwa pertemuan kedua itu terjadi di sebuah kafe yang sama, kau salah besar. Faktanya, pertemuan kedua terjadi di sebuah toko buku. Kala itu, aku sedang memandangi judul-judul novel terjemahan yang tertata rapi di rak buku.
Pertemuan kedua tidak romantis. Tangan kami tidak bersentuhan karena ingin mengambil buku yang sama. Yah, ini tidak seperti film-film romantis yang sering kau lihat.
“Rosa?” ucapnya agak ragu-ragu.
Aku menoleh. Kemudian memberikan senyuman terbaikku. Ia balas tersenyum. Kali ini, senyumnya lebih indah dibandingkan sebelumnya.
“Namamu siapa?”
Tiba-tiba saja, pertanyaan itu meluncur dari bibirku.
“Adrian.”
Kami saling berpandangan. Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Lima detik. Dan itu cukup untuk membuat seorang gadis bernama Rosa jatuh cinta. Iya, aku jatuh cinta.
Sebuah perasaan yang ternyata akan aku sesali di tahun-tahun berikutnya. Pertemuan indah yang pada awalnya membahagiakan. Namun tidak berujung bahagia.
Percuma. Semuanya sudah terjadi. Dan tentu saja, tidak ada orang yang bisa mengubah masa lalu yang sudah terjadi. Ah, seandainya aku hidup di dunia doraemon. Aku tidak perlu merasa sepusing ini.
Semuanya memang menyenangkan pada awalnya. Sampai pada akhirnya masing-masing dari kami mengerti bahwa kami berbeda.
Mungkin bagi orang-orang, perbedaan itu indah. Tapi apakah orang-orang masih berpikir bahwa perbedaan itu tetap indah jika hal itu memisahkan dua orang yang saling mencintai? Bagaimana jika dua insan manusia itu tidak bisa bersama karena sebuah perbedaan? Apakah perbedaan masih dianggap indah?
***
"Ros, sepertinya kamu sudah tahu ke mana hubungan ini akan pergi."
Tanpa menungguku berkata-kata, Adrian pergi. Dan aku masih tetap menunduk. Memandangi secangkir kopi yang bahkan belum habis setengahnya. Beberapa detik kemudian, aku merasakan pipiku menghangat.
“Adrian,” panggilku pelan. Tentu saja, itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Yang dipanggil tidak akan datang. Karena dia sudah terlanjur pergi jauh.
***
Kevin dan Chelsea berdiri di altar. Mendengarkan sang pastur mengucapkan janji-janji pernikahan. Betapa bahagianya mereka.
Sungguh, hatiku ngilu ketika melihat pemandangan itu. Entah sejak kapan, bulir-bulir mataku keluar.
Seharusnya hari ini akulah yang berdiri di sana. Hal itu akan terjadi jika dia mau berkorban. Atau mungkin, kami akan duduk di depan penghulu jika aku yang berkorban. Tapi faktanya, salah satu di antara kami tidak ada yang berkorban.
Aku tidak menyalahkannya jika dia tidak mau berkorban. Aku paham betul, suatu kepercayaan bukanlah sesuatu hal yang bisa dikorbankan. Ini menyangkut hubungan dengan Tuhan. Apakah hal semacam ini pantas untuk dikorbankan untuk satu hal yang bernama cinta?
Apa yang akan didapat jika aku mengorbankan kepercayaan? Apa aku akan mendapatkan sebuah kebahagiaan? Bagaimana jika nantinya, setelah semua dikorbankan, aku tidak mendapat apa-apa?
Bagaimana jika pilihan kami ternyata salah? Bagaimana jika suatu saat, aku tidak mencintai dia lagi?
Mungkin, sejak awal kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Seharusnya aku berhenti berharap saat itu. Saat aku duduk di beranda masjid. Menunggui dia beribadah.
Akhirnya, kalung salib ini tidak akan pernah kulepas. Dan dia tidak akan pernah meninggalkan lima waktunya. Keputusan kami tidak akan berubah. Selamanya akan terus seperti itu. Dan aku, tidak akan pernah menyesali pilihanku.
Akhirnya, kami hanya merah dan biru. Iya, merah dan biru yang tidak akan pernah berubah menjadi ungu.
0 komentar:
Post a Comment