Aku, Ponsel, dan Damian



Jika kau berpikir bahwa memiliki kakak laki-laki adalah sebuah anugrah, kau salah besar! Mari kuulangi. SA-LAH BE-SAR. Jadi, bagi kau yang tidak mempunyai kakak laki-laki, bersyukurlah. Karena kau tidak akan mengalami hal seper—

“Cloe, bisakah kau membuatkanku secangkir kopi? Aku harus lembur malam ini.”

Tuh, kan.

Hal seperti itu sudah kualami selama bertahun-tahun, dan sungguh itu memuakkan. Lebih-lebih, saat Kakakku mengeluhkan soal ponselnya yang rusak. Dia bolak-balik mengeluh soal ponselnya, sampai kupingku panas mendengarnya.

“CLOEEE, BI—“

“Aku sedang berjalan, berisik.”

Penyiksaanku semakin menjadi-jadi sejak ponselnya rusak. Karena ponselnya rusak, ia memutuskan untuk kerja sambilan dan aku menjadi korbannya. Iya, iya aku tahu ini memang tidak masuk akal. Tapi bagi seorang Damian, itu adalah hal yang masuk akal.

Hm, sebentar ya. Akan kulanjutkan setelah membuat kopi. Karena jika aku tidak bergegegas, Damian akan mengamuk. Dia akan memaksaku untuk memberikan setengah uang saku padanya, atau membiarkanku berpergian dengan kendaraan umum.
***
“Ini kopimu,” aku meletakkan secangkir kopi setelah membuatnya dengan asal-asalan.
“Hmm,” jawabnya sambil tetap memandang kertas-kertas yang berserakan di atas meja.
Ha. Tidak bisakah dia mengucapkan sesuatu? Setidaknya sebuah terimakasih? Ah, tidak mungkin seorang Damian akan mengucapkan terimakasih. Akan menjadi keajaiban ke-delapan jika dia melakukan itu padaku. Iya, padaku.

Asal kau tahu saja ya, sikapnya itu seratus persen berbeda jika denganku. Di depan orang lain, sih sangat baik. Tapi jika dengan adiknya sendiri? Dia bahkan hampir sama kejamnya dengan ibu tiri. Kau mau mengataiku lebay? Terserah. Aku tak peduli. Toh, memang begitu kenyataannya.
Ah iya, aku jadi lupa menceritakan perihal insiden ponsel.

Jadi begini, ponsel Damian jatuh. Layarnya pecah. Lalu, dia berniat untuk mengganti ponselnya. Dia mengeluh terus menerus bahwa ponselnya tidak bisa digunakan lagi. Padahal aku paham betul, itu cuma retak sedikit. Tidak banyak. Paling-paling, tidak membuang uang banyak jika berganti layar.
Tetap saja. Damian keras kepala. Sudah kukatakan berulang kali untuk hanya mengganti layar, tapi ia tetep ngeyel. Ia terus-terusan mengeluh, sengaja. Agar ibu ataupun ayah mau memberikan dia ponsel baru.

Tapi sayangnya, itu tidak terjadi. Orang tuaku bukanlah orang tua yang sangat baik hati apalagi memberikan ponsel secara cuma-cuma. Jangan harap. Aku saja tidak menggunakan ponsel selama hampir setengah tahun.

Aku disuruh menabung. Tapi setiap menabung, uangnya selalu terpakai untuk membeli sesuatu lagi. Begitu terus berulang-ulang.

Tunggu, ini kenapa jadi menceritakan ponselku sih?

Baiklah, mari dilanjutkan.

Singkat cerita, Damian memutuskan kerja paruh waktu untuk mendapat uang demi membeli ponsel. Itu terjadi dua bulan yang lalu. Menyebabkan seorang Damian sangat sibuk, sampai-sampai melewatkan tanggung jawabnya untuk menjemputku.

Uang sakuku yang seharusnya bisa kutabung, justru dengan amat sangat terpaksa kugunakan untuk membayar kendaraan umum. Mengakibatkan aku tidak bisa menabung untuk membeli ponsel. Sial.
Bukan hanya itu saja, Damian juga hampir selalu mengatakan ‘Cloe, bisakah kau bla bla bla’ sebanyak lima kali sehari. Aku sudah berusaha untuk tidak menghiraukan permintaannya. Tapi lagi-lagi, dia mengancam untuk tidak mengantar atau menjemputku. Yah, begitulah. Jadi aku dengan sangat amat terpaksa harus menuuti keinginannya.

“Cloe?”

Astaga, apalagi sih? Padahal aku baru saja membuatkannya kopi.

“Kopinya kok asin?”

“Hah?”

Aku buru-buru merebut cangkir yang saat ini dipegang oleh Damian, dan mencicipi kopi buatanku sendiri. Ah, benar saja. Rasanya asin. Sepertinya aku salah memasukkan. Harusnya gula, justru aku beri garam. Beginilah hasilnya jika sesuatu dikerjakan dengan cara terpaksa.

“Tunggu apalagi? Buatkan yang baru, Cloe?”

Aku melotot.

“Masa kau tega membiarkan kakakmu ini meminum kopi asin?”

“Oke, baiklah.”

Aku kembali ke dapur untuk membuatkan kopi yang baru.
***

Keadaan di sekolah sudah membuat moodku baik. Tapi saat pulang, Damian menghancurkannya. Kau tahu kenapa? Akan kuceritakan.

Jadi begini, aku sudah menunggu selama satu jam lamanya, dan dia tidak kunjung datang. Seharusnya jika dia tidak bisa menjemputku, dia bilang sejak awal. Dia jelas-jelas tahu kalau ponselku rusak sehingga aku tidak dapat dihubungi.

Baiklah, sudah kuputuskan. Jika setengah jam lagi dia belum datang, maka aku akan pulang menggunakan kendaraan umum.

“CLOE!”

Ah, datang juga.

Tunggu, ini dia tidak mengatakan maaf atau apa? Ayolah, Damian. Aku sudah menunggumu selama satu jam. Setidaknya, ucapan maaf mungkin? Oh, oh. Aku harusnya paham. Seorang Damian tidak akan mengucapkan kata sepele itu padaku. Yah sudahlah, mari bersyukur saja. Setidaknya uang sakuku aman untuk ditabung. Tidak melayang untuk naik kendaraan umum.

***

“Kita mau ke mana?”

“Ke sebuah tempat.”

Aku memutar bola mata. Sebaiknya aku diam saja. Karena bertanya juga percuma.

“Sudah sampai.” Damian memberhentikan motor. Memarkirkannya di sebelah motor-motor lain yang berjajar rapi. Sekarang, kami berada di depan sebuah toko gadget.

Ah, aku tahu. Uang dari kerja paruh waktunya pasti sudah mencukupi untuk beli ponsel baru.

Kami masuk ke dalam toko tersebut. Barang-barang elektronik terjajar rapi di etalase. Ada ponsel, laptop, headphone, speaker, dan banyak sekali barang elektronik sejenis itu. Dwimanikku memandang deretan ponsel yang tertata rapi. Membaca satu persatu merk ponsel tersebut.

Seandainya saja, aku bisa membelinya satu. Yang paling murah juga tidak apa. Tapi tetap saja, bahkan uang tabunganku saja masih belum cukup untuk membeli ponsel. Meskipun itu yang paling murah.

“Pilihkan yang menurutmu bagus.” Damian berdiri di sebelahku.

“Entahlah, aku tidak tahu mana yang bagus. Kau pilih saja sendiri, lagipula kan biasanya laki-laki jauh lebih baik dalam memilih hal seperti ini.” aku memberi jeda, “Sudah sana pilih. Aku tunggu di luar.”

***

“Ini ponselmu. Kenapa aku yang suruh bawa?” aku mengomel sambil membawa tas kertas yang di dalamnya berisi ponsel. Sejak tadi, ia tidak mau membawa tas kertas ini. Saat makan di tempat makan tadi, ia menyuruhku untuk membawanya. Sekarang saat sudah sampai rumah pun, ia langsung turun dari motor dan masuk ke rumah.

Dasar tidak berperikemanusiaan. Sudah tahu adiknya ponselnya rusak, eh justru disuruh membawakan miliknya yang baru beli.

“Kata siapa itu punyaku? Itu untukmu.”

Tunggu, aku tidak salah dengar kan?

“Itu untukmu, Cloe. Ponselku sudah benar kok. Hanya ganti layar saja.”


Aku tidak bisa menutupi kebahagiaanku. Aku berteriak mengucapkan terimakasih, dan langsung memeluk Damian. Sepertinya, orang-orang benar. Mempunyai kakak laki-laki adalah anugerah. Bersyukurlah kalian yang mempunyai kakak laki-laki. Bagi yang tidak punya, jangan iri padaku, ya! 

0 komentar:

Post a Comment