[Fanfiction] Oneirataxia



Sinar matahari yang terlalu terang sampai tirai kamar Seulgi. Membangunkan gadis yang masih nyenyak tertidur. Perempuan itu buru-buru bangkit dari posisi nyamannya, lalu melihat ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sepuluh siang.

“Sial, aku kesiangan.” Seulgi segera bangun, ia berlari dari kamarnya, lalu menuju kamar sebelah—kamar milik Wonwoo.

Perempuan itu membuka pintu kamar, lalu melihat Wonwoo dengan asyiknya masih tertidur di sana.

“Wonwoo-ya, bangun!” Seulgi menarik bantal yang ada di kepala adiknya itu. Sang adik hanya bergerak sedikit. Sepertinya lelaki yang dua tahun lebih muda darinya itu enggan untuk membuka mata.

“Wonwoo!” Seulgi kini mengguncang-guncangkan tubuh Wonwoo. Sementara yang dibangunkan sama sekali tidak berniat untuk bangun.

Noona, ini hari minggu, biarkan aku tidur,” gumam Wonwoo.

Ah iya, gadis itu hampir lupa jika hari ini adalah hari minggu. Maka gadis itu pergi meninggalkan kamar adiknya, beranjak ke dapur ntuk membuat sarapan.

Omong-omong, mereka memang hanya tinggal berdua. Wonwoo adalah satu-satunya keluarga yang Seulgi punya. Orang tua mereka meninggal saat mereka masih SMA. Ayahnya sakit, sementara ibunya menyusul dua tahun kemudian. Oleh karena itu, Seulgi dan adiknya harus bekerja paruh waktu untuk menghidupi kehidupan mereka.

Seulgi bahkan merelakan diri untuk tidak mengenyam bangku perkuliahan demi adiknya. Sementara Wonwoo sendiri mati-matian mengejar beasiswa agar sang kakak tidak merasa terbebani dengan biaya kuliah.

***

Hari ini Seulgi menyiapkan omelet. Dan ia baru saja menyelesaikan masakan buatannya. Ia kini menuju kamar adiknya, untuk mengajaknya sarapan. Tapi ternyata kasur yang tadi ditiduri oleh Wonwoo sudah kosong.

Noona, kau cari siapa?”

Seulgi menoleh, gadis itu mendapati adiknya sudah duduk manis di meja makan.

“Kau ini, giliran urusan makanan saja cepat.” Seulgi kini ikut duduk dan mulai memakan omelet yang ia buat sendiri.

Seulgi memandang adiknya. Ia tidak menyangka bahwa waktu akan berlalu secepat ini. Dulu Seulgi jauh lebih tinggi dari Wonwoo, kini justru sebaliknya. Dulu, Seulgi yang selalu mengantar Wonwoo ke manapun adiknya itu akan pergi. Kini justru sebaliknya. Dulu, Seulgi yang akan menjadi pelindung Wonwoo, kini justru sebaliknya.

Seulgi masih ingat, bagaimana Wonwoo menangis saat mainannya direbut orang lain. Dan Seulgi akan membantu adiknya untuk merebut mainannya kembali. Seulgi akan menjadi orang pertama yang akan marah jika adiknya disakiti.

Tapi semua itu sudah berubah. Kini, Wonwoo yang akan menjadi orang pertama yang marah ketika Seulgi disakiti. Seulgi ingat betul, bagaimana Wonwoo menghajar Jaebum saat lelaki itu ketahuan selingkuh.

Tidak disangka, adiknya kini sudah bertambah dewasa. Bahkan sebentar lagi ia akan diwisuda. Dan, Seulgi akan menjadi orang paling bahagia ketika hari itu datang.

“Kau melamunkan apa, sih?”

Seulgi tersadar. Ia menggeleng, kembali menyantap makanannya.

***
Mereka berdua sedang membereskan piring saat bel berbunyi. Keduanya bertatapan sesaat. Seolah membaca pikiran Wonwoo, gadis itu langsung meletakkan piring yang akan ia pindahkan ke tempat cuci piring, dan bergegas membukakan pintu.

Sosok Wendy—teman SMA sekaligus sahabat Seulgi—muncul begitu Seulgi membukakan pintu. Seulgi mengernyit begitu melihat Wendy membawa sebuket bunga, sementara pakaian yang ia kenakan hitam-hitam.

Banyak pertanyaan yang muncul di otak Seulgi. Tapi sebelum sempat ia bertanya, gadis di hadapannya sudah terlebih dulu membuka mulut.

“Kau tidak bersiap?”

Seulgi bingung. Ia sama sekali tidak paham dengan kata bersiap  yang Wendy ucapkan barusan. Seingat Seulgi, ia sama sekali tidak memiliki janji dengan Wendy.

“Siapa?” suara Wonwoo terdengar dari dalam.

“Wendy!” Seulgi menjawab sambil berteriak.

“Seul, kau bicara dengan siapa?”

“Wonwoo. Siapa lagi?”

Wendy memeluk Seulgi. Membuat Seulgi bingung setengah mati. “Ada apa denganmu, Wen?”
Tanpa menjawab, Wendy meletakkan dagu di bahu Seulgi. Sementara tangan kirinya mengusap-usap punggung sang sahabat.

“Seul, ayo kita pergi. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”

***

“Ini makam siapa?” Seulgi bertanya karena ia tidak percaya dengan indra penglihatannya. Ia merasa bahwa tulisan yang terulir di batu nisan itu salah.

“Adikmu sudah pergi sejak setahun yang lalu. Hari ini adalah satu tahun peringatan kematiannya.”
Seulgi tercekat. Bagaimana bisa? Jelas-jelas tadi pagi ia masih sarapan bersama adiknya. Mereka bahkan sempat berbincang-bincang.

“Kalian kecelakaan. Tepat di hari Wonwoo diwisuda.”

Seulgi menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tidak percaya dengan kalimat yang baru saja ia dengar. Sudah jelas, bahwa tadi ia masih sempat berbicara dengan adiknya. Mana mungkin Wonwoo sudah pergi?

“Seul, sadarlah! Adikmu sudah pergi sejak setahun yang lalu!” Wendy menggoncangkan bahu Seulgi. Sungguh, Wendy tidak mau sahabatnya hidup hanya dalam sebuah imajinasi.

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba ingatan soal bagaimana ia tertabrak oleh sebuah mobil berputar di kepalanya. Soal pemakaman Wonwoo, bagaimana orang-orang mengatai Seulgi sebagai kakak yang tidak berperasaan karena sama sekali tidak menangis saat adiknya meninggal. Bagaimana Seulgi ingin bunuh diri karena merasa bersalah pada adiknya. Semuanya berputar dalam kepalanya.

Gadis itu bahkan ingat bagaimana ia menyalahi dirinya sendiri perihal kematian adiknya. Bagaimana bisa adiknya itu meninggal sementara dirinya tidak apa-apa? Padahal keduanya mengalami kecelakaan yang sama? Bagaimana bisa ia hanya luka kecil sementara adiknya sampai meninggal?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu bergulir di kepala Seulgi. Pertanyaan yang ia tanyakan di hari
kematian Wonwoo. Semuanya jelas. Seperti sebuah film yang diputar dalam kepalanya. Dan untuk pertama kalinya—setelah Wonwoo pergi—Seulgi menangis. Sekencang-kencangnya. Dalam pelukan Wendy.


FIN

0 komentar:

Post a Comment