Doyoung sebal setengah mati dengan Sejeong. Pasalnya,
Sejeong pergi entah ke mana meninggalkan Doyoung berdua dengan anak kecil
berumur tiga tahun yang sejak tadi melompat-lompat dan berlari ke sana kemari.
Bahkan Doyoung sejak tadi menjadi pusat perhatian ibu-ibu yang berada di taman
bermain ini. Tidak heran sih, Doyoung jelas terlihat masih muda, sama sekali
belum cocok jika sudah memiliki anak tiga tahun.
“Kak, Kak,” Anna—nama anak kecil itu—menarik-narik lengan
baju Doyoung, membuat lelaki itu memandang ke bawah, dan berjongkok.
“Iya? Kau mau apa?” tanya Doyoung seramah mungkin.
Bukannya menjawab, anak kecil itu justru meloncat-loncat dan
menunjuk langit.
Hah? Dia mau terbang?
Doyoung bingung harus bagaimana. Ia sama sekali tidak tahu
dengan apa yang dimaksud anak kecil ini. Lelaki itu berpikir, berusaha
semaksimal mungkin menggunakan otaknya supaya bisa mengerti apa yang dimaksud
Anna.
“Balon?” tanya Doyoung asal.
Mungkin saja, langit kan tempat balon terbang. Dan sudah
sewajarnya bukan anak kecil menyukai balon?
Tapi tebakannya tidak benar. Ternyata, anak kecil itu
menggeleng.
“Lalu apa?” tanya Doyoung lagi.
Anak kecil itu masih menunjuk-nunjuk langit, membuat lelaki
itu semakin pusing.
“Kak, aku mau!”
“Mau apa, sayang?”
Dan lagi, anak kecil itu masih menunjuk langit. Oh astaga,
yang benar saja. Jika saja ini bukan anak kecil, mungkin Doyoung sudah marah.
Lagian, Sejeong—kakak sepupu anak ini, sekaligus kekasih Doyoung—ke mana sih?
Katanya mau membeli sesuatu untuk Anna tapi belum juga kembali.
“Kaaaak!” Anna mulai merajuk.
“Si—“ Doyoung hampir mengumpat, untung aja ia berhasil
mengontrol mulutnya.
“Bentar ya, tunggu Kak Sejeong.”
Astaga, sekarang wajah Anna langsung berubah drastis. Dan ia
sepertinya akan menangis, dan—
Benar.
Anna menangis sekencang-kencangnya, sambil memukuli pundak
Doyoung. Doyoung sendiri menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung. Ia sama
sekali tidak tahu bagaimana cara menghadapi bocah tiga tahun yang sedang
menangis dan menginginkan langit. Seandainya saja google bisa membantu. Doyoung pasti tidak akan sepusing ini.
“Anna, sshh,”
BODOH. Bukan begini
caranya menenangkan anak kecil yang menangis.
Doyoung meurutuki dirinya sendiri. Sekarang, ia benar-benar
kesal dengan Sejeong. Awas saja nanti kalau nanti dia kembali.
“Anna, lihat! Ada boneka lucu!” Doyoung menunjuk boneka yang
terpajang di salah satu toko boneka di sekitar taman. Berusaha mengalihkan
perhatian Anna supaya ia tidak menangis lagi, tapi hasilnya nihil.
Doyoung menyisir sekeliling, lalu melihat ayunan. “Anna, ayo
main ayunan!”
Bukannya diam, Anna justru menangis lebih kencang. Membuat
Doyoung semakin menjadi pusat perhatian. Lelaki itu memandang sekeliling lagi,
mencari suatu hal yang kira-kira bisa membuat Anna berhenti menangis.
Tapi ia tidak menemukan apa pun. Yang ia temukan hanya
Sejeong yang sedang berjalan menuju ke arahnya—yah, itu justru jauh lebih baik.
“Doyoung! Kau apakan dia?” tanya Sejeong yang tiba-tiba
datang dan membawa tiga permen kapas di tangan.
Tangisan Anna berhenti. Ia langsung meloncat-loncat seolah
berusaha meraih permen kapas yang dibawa Sejeong. Sejeong menunduk, lalu
menyerahkan permen kapas itu.
“Gumawo, Kak
Sejeong baik! Tidak seperti Kak Doyoung!” Anna mulai memakan permen kapasnya.
“Tadi kenapa?” Sejeong bertanya, lirih. Supaya Anna tidak
mendengar.
“Sepertinya dia ingin permen kapas. Tapi—“
“Tapi?”
“Dia menunjuk langit, ya aku mana tahu!”
Sejeong tertawa, “Maksudnya awan. Permen kapas kan mirip
awan.”
“Astaga, kenapa dia tidak langsung bilang saja sih kalau mau
permen kapas?”
“Namanya juga anak kecil.” Sejeong memberikan permen kapas
pada Doyoung, “Nih.”
Doyoung menerimanya.
Fin
0 komentar:
Post a Comment