Aku akan menceritakan kisahku. Ini soal
pangeran tampan. Apa yang ada di pikiranmu saat mendengar kata pangeran tampan?
Seorang lelaki yang pandai berkuda dan memanah? Ehm, mungkin bagi kalian, aku
terlalu berlebihan jika menyebutnya pangeran tampan. Tapi aku serius. Dia
benar-benar tampan. Dan kau tahu aku melihatnya di mana? Perpustakaan.
Perlu aku garis bawahi. Perpustakaan.
Jangan kau pikir, seorang pangeran tampan hanya perlu menguasai cara berkuda
dan berolahraga. Ia juga harus pintar, bukan? Oke, baiklah. Mungkin aku
berlebihan jika menyebutnya pangeran tampan. Dan kurasa itu juga terlalu
panjang. Maka aku putuskan untuk mempersingkat menjadi dia. Lebih mudah dibaca dan tidak terlalu berlebihan, kan?
Ehm, aku tidak mau bertele-tele. Akan
langsung kumulai saja ceritanya.
Waktu itu Hari Senin. Aku sedang
mencari-cari sebuah buku referensi untuk mengerjakan tugas. Tidak, jangan
kalian berharap bahwa aku tidak sampai untuk meraih sebuah buku di rak yang
tinggi, lalu lelaki itu mengambilkannya untukku. Atau, kami tidak sengaja
mengambil buku yang sama lalu tangan kami bersentuhan. Oh, yang benar saja.
Kejadian-kejadian seperti itu hanya ada di drama. Dalam kenyataannya, sebuah
pertemuan itu tidak semanis itu.
Pada saat aku sedang mencari buku,
kulihat dia sedang asyik membaca sebuah buku. Sedang duduk di lantai sambil
bersandar di salah satu rak, dengan kaki ditekuk. Awalnya, aku tidak peduli.
Tapi lama-kelamaan aku peduli. Grasak-grusukku mencari buku sama sekali tidak
memengaruhi atensinya terhadap buku yang ia baca. Itulah hal pertama yang
membuatku peduli. Lalu setelah kuperhatikan, ternyata tampan.
Hebatnya lagi, konsentrasinya sama
sekali tidak pecah saat aku memerhatikannya. Ia sama sekali tidak bergeming,
dan tetap membaca buku. Wah, sungguh konsentrasi yang luar biasa.
Itu adalah kali pertama aku melihat dia.
Kali kedua, terjadi tiga hari kemudian. Hari Kamis. Kali ini, ia juga duduk
bersandar dengan kaki ditekuk sambil membaca buku. Bedanya, kini ia bersandar
pada tembok. Bukan pada rak buku. Dan kali ini, ia masih sama. Sama-sama tidak
merasa kalau ia diperhatikan.
Karena aku penasaran—dan kebetulan juga
aku tidak ada jadwal pada Hari Kamis—maka aku memutuskan untuk memerhatikannya.
Aku penasaran, sampai mana konsentrasinya akan buyar. Aku kemudian mengambil
beberapa buku secara asal, lalu mencari tempat duduk yang strategis untuk
diam-diam memerhatikannya.
Ah iya, aku juga penasaran. Kenapa dia
selalu duduk di lantai padahal di sini masih ada kursi kosong? Entahlah. Hanya
dia yang tahu alasannya.
Kupikir, dia hanya akan bertahan
sebentar saja. Tapi faktanya, aku sudah memerhatikannya selama tiga jam, dan ia
bahkan tidak berubah dari posisinya. Padahal aku sudah bolak-balik mengganti
buku saking bosannya. Sementara lelaki itu, hanya konsentrasi pada satu buku.
Sungguh konsentrasi yang luar biasa. Dia
seolah punya dunia sendiri. Dia seolah menyatu dengan buku itu, dan mengabaikan
sekelilingnya. Wah, dia benar-benar membuatku jatuh cinta. Mungkin ini yang
dinamakan love at the first sight?
Sejak saat itu, hampir setiap ada waktu
luang, aku selalu datang ke perpustakaan. Ehm, karena aku punya waktu luang
hampir setiap hari—ya, kau bisa mengataiku pengangguran. Bagaimana lagi?
sebagai mahasiswa baru yang tidak punya kegiatan lain selain kuliah, aku
memiliki banyak waktu luang. Daripada itu terbuang percuma, lebih baik aku
datang ke perpustakaan sambil membaca buku. Melihat lelaki tampan sih
sebenarnya.
Setelah dua minggu terakhir menjadi
pengunjung tersering perpustakaan untuk mengamati lelaki itu, aku dapat
menyimpulkan bahwa ia datang setiap hari Selasa dan Kamis pada jam yang sama.
Sepertinya mengunjungi perpustakaan adalah salah satu jadwal yang wajib ia
lakukan. Aku berani bertaruh, ia pasti memiliki jadwal tentang kesehariannya.
Ia pasti orang yang teratur dan rapi.
Omong-omong, sekarang aku sudah ada di
perpus. Hari ini aku harus tahu namanya. Tidak akan asyik bukan, jika hanya
mengagumi seseorang tanpa tahu namanya? Oleh karena itu, targetku hari ini
adalah untuk tahu namanya. Siapa tahu saja dia punya akun sosial media dan aku
bisa melakukan pendekatan dari sana. Hehe. Yah, siapa tahu saja, kan?
Sudahlah, aku takut kalian bosan jika
aku terlalu bertele-tele. Maka aku akan menceritakan bagaimana rencanaku untuk
mengetahui namanya.
Tidak, tidak. Aku tidak mungkin
mengajaknya berkenalan. Aku tidak punya cukup nyali untuk itu. jadi, yang
kulakukan adalah mengikutinya. Ehm, jadi begini. Sistem dalam perpustakaan
kampus ini adalah, mengharuskan semua pengunjungnya untuk menscan kartu nama mereka pada saat masuk
dan keluar perpustakaan.
Nah, pada saat kartu nama itu dipindai,
maka nama orang itu akan muncul di layar yang tergantung di atas mesin
pemindai. Pada saat itulah, aku akan melihat namanya. Oleh karena itu, aku
harus antri tepat di belakangnya saat nanti keluar dari perpustakaan ini.
Aku melirik jam tangan warna ungu yang
melingkar di pergelangan tangan, menunjukkan pukul lima kurang sepuluh. Sepuluh
menit lagi, lelaki itu pasti akan keluar. Aku harus segera bersiap. Kutata buku
yang tadi kuambil, lalu meletakkannya di meja yang sudah dipersiapkan.
Petugaslah yang nanti akan memindahkannya ke tempat semula.
Iris cokelatku menyisir sekeliling,
mencari lelaki itu di tempat yang tadi, dan oh! Dia sedang berjalan keluar
menuju mesin pemindaian. Aku segera berjalan cepat mengikuti di belakangnya.
Astaga, dari jarak sedekat ini dia makin tampan.
Wajahnya benar-benar mulus. Dan bahkan,
bersinar. Oke, oke. Aku tahu aku berlebihan. Tapi jika kalian melihatnya secara
langsung, wajahnya benar-benar bersinar. Tentu saja tidak bersinar semacam
matahari. Bagaimana aku mendekskripsikannya ya? Cerah mungkin? Ah, entahlah.
Pokoknya wajahnya seperti orang-orang yang ada di iklan pembersih wajah.
Lupakan itu. Sekarang dia sedang
mengeluarkan kartu—astaga jantungku berdegup sangat kencang!—ia meletakkan
kartu itu di atas mesin pemindai, dan tara! Sebentar lagi namanya pasti akan
muncul di layar.
Aku memfokuskan seratus persen
perhatianku pada layar, tidak ingin terlewat barang sedetik pun. Dan nama Hwang
Minhyun terpajang di sana. Aku ulangi, namanya Hwang Minhyun. Namanya seindah
wajahnya, ya. Ah, jika saja ini bukan di perpustakaan aku pasti sudah selebrasi
besar-besaran.
“Ehm,” seseorang berdeham di belakangku.
Aku menoleh. Astaga, perhatianku hanya
tertuju pada Hwang Minhyun sampai-sampai aku tidak sadar bahwa sudah banyak
sekali orang-orang yang mengantri di belakangku. Buru-buru, aku memindai kartu
dan keluar dari sana.
***
Hwang Minhyun, Hwang Minhyun. Aku
mengulang-ulang nama itu selama tadi perjalanan pulang. Sekarang aku sudah
sampai di rumah! Aku segera mengambil ponsel dan mencari namanya di internet.
Kau tahu, jaman sudah canggih. Dengan mengetikkan nama siapapun di mesin
pencari, semua hal yang berkaitan dengan orang itu akan muncul.
Nah, kan. Benar juga. Akun instagram
milik lelaki itu muncul paling atas. Segera, kubuka akun itu. Wah, benar-benar
tampan. Akun instagramnya berisi foto-foto dia yang sangat-sangat tampan. Tapi,
tunggu. Aku melihat salah satu foto yang lain dari yang lain. Di foto ini, dia
tidak sendirian. Dia bersama seorang perempuan yang sangat cantik.
Ada akun milik perempuan itu. Karena
penasaran, aku mengekliknya. Ehm, tolonglah. Semoga perempuan cantik ini
kakaknya. Atau, adiknya. Atau, saudaranya.
Di akun milik perempuan itu, ada foto
Minhyun sedang membaca buku. Captionnya bertuliskan “Lebih baik aku diduakan
dengan buku daripada dengan wanita lain” dengan emot hati di belakangnya.
Hah?
Sebentar.
Diduakan?
Aku membaca ulang caption itu. Bunyinya masih sama. Aku tidak salah baca. Jadi,
perempuan ini kekasihnya?
Ah, lagipula mana mungkin sih lelaki
setampan dia tidak punya kekasih? Dan, siapa pula aku?
***
Yah, begitulah ceritaku tentang pangeran
tampan—yang ternyata sudah memiliki permaisuri. Terimakasih sudah mau menyimak
sampai akhir. Maaf jika akhirnya mengecewakan. Karena itulah yang banyak
terjadi di dunia nyata. Kalau saja aku adalah wanita dalam drama, aku pasti
sudah berkencan dengan Minhyun sekarang.
0 komentar:
Post a Comment