“If I made a
different choice, i wouldn’t have left”
.
.
“Kau sudah melakukannya sekali. Apa bedanya jika kau
melakukan berulang kali? Bukankah julukannya sama saja?”
Yang diajak bicara hanya terdiam. Masih memandangi jari-jari
tangannya.
Lelaki berjaket hitam menepuk pundak seseorang di hadapannya
dua kali. “Tak perlu dipikirkan, toh
dia dulu juga menyiksamu, kan?”
Yang diajak bicara mengangguk.
“Ayo, kita juga perlu hidup.”
***
Lelaki berkemeja kotak-kotak itu memandang ke bawah. Genangan
air sisa hujan tadi malam menarik perhatiannya. Karena lelah berdiri, lelaki
itu berjongkok. Kim Taehyung. Begitulah dulu
ia dipanggil. Iya, dulu. Saat kehidupannya masih baik-baik saja.
Siapa sangka, bagi seorang Kim Taehyung, genangan air
merupakan suatu hal yang bisa mengingatkannya tentang masa lalu. Bagaimana beberapa
tahun lalu ia masih bermain bersama ke enam temannya. Ia ingat betul, pada hari
itu, hampir sama seperti hari ini.
Ada genangan air sisa hujan semalam.
Kim Taehyung dan keenam temannya, bermain di atap. Membicarakan
hal-hal konyol, saling mencela satu sama lain—tentu saja hanya untuk gurauan, dan
tentu saja saling berbagi kisah soal kehidupan masing-masing. Malamnya, mereka
meneguk beberapa botol soju, sembari menikmati dinginnya angin malam. Tak lupa
dengan api unggun mereka siapkan sebagai penerang.
Hari itu, semua
tampak baik-baik saja. Tidak setelah Taehyung pulang ke rumah. Kebahagiaan yang
baru saja ia dapatkan dari teman-temannya, seolah lenyap begitu saja. Kini, ia dihadapkan oleh pertengkaran hebat. Di
mana seseorang yang ia panggil Ayah, dengan teganya memukuli wanita paruh baya
yang telah mengandungnya selama sembilan bulan. Ini bukan yang pertama kali,
tapi sudah berulang kali.
Sepertinya kesadaran Taehyung pada saat itu benar-benar di bawah
kewajaran. Emosinya tiba-tiba memuncak. Entah sadar atau tidak, lelaki yang
pada saat itu baru berusia dua puluh satu tahun mengambil sebuah botol,
memecahkannya, dan menusukkannya pada perut Sang Ayah. Begitu berulang-ulang.
Teriakan eommanya
seolah hilang, ia tidak mendengar apa-apa. Yang ia lakukan hanyalah menerjang
Sang Ayah. Hingga ia sadar, bahwa sudah terlampau banyak darah yang bercecer di
kaos putih milik ayahnya, di tangannya, dan juga pada botol kaca yang ia
gunakan sebagai senjata.
Rasa bersalah merasuki tubuhnya, mengisi penuh seluruh
tubuhnya. Lelaki itu bahkan tidak sanggup menatap wajah eommanya.
***
Kim Taehyung hanya bisa berlari. Berlari sekencang-kencangnya.
Tak tentu arah. Hingga ia bertemu dengan seseorang yang kini sudah berdiri di
sampingnya.
“Berdiri. Kita akan melakukan tugas selanjutnya.”
Kepala Taehyung mendongak. “Bisakah kita makan dulu? Aku
lapar.”
“Kau mau kehilangan pekerjaan atau bagaimana, V?”
V. Victory. Adalah
inisial untuk Kim Taehyung. Ia diberikan julukan itu karena hasil kerjanya yang
sempurna, tanpa meninggalkan secuil kesalahan. Kesempurnaan yang membuatnya
selalu menang dari siapa pun yang mengincarnya.
Taehyung bangkit, ia meregangkan tangan sebentar, lalu kedua
tangannya menerima barang dari lelaki di sebelahnya. Tangan kiri untuk topi,
tangan kanan untuk—
“PISAU?”
“Kali ini kita sedikit menyiksa. Perintah bos.”
Taehyung tersenyum miring. “Sepertinya memotong jari akan
menyenangkan ya, TY?”
“Tentu saja. Sepuluh untukmu, dan sepuluh untukku.”
Aku sudah berbelok
terlalu jauh. Pilihanku sudah salah sejak awal. Aku tidak bisa kembali. Dan selamanya
aku harus pergi.
FIN
///
Pemalang, 12 Agustus 2017. 02:30 PM.
MUKA PSIKONYA TAEHYUNG PAS DI SHORT FILM STIGMA EMANG BIKIN
HRRRR. Dan terjadilah FF ini:”) tadinya mau kisah cinta sederhana aja kayak
yang punya Namjoon tapi kok rasanya aneh, yaudah sekalian aja bikin yang
beginian :)))))
Yang dua kayaknya besok atau mungkin nanti malem deh. Makin
lama makin gajelas nanti:”
0 komentar:
Post a Comment