Jimin memandang ponselnya. Ia melihat ke arah tanggal yang
ada di layar ponsel. Tiga belas Oktober. Hari ulang tahunnya. Ia berharap,
gadis itu datang—ehm, tidak perlu datang juga, sih. Setidaknya, mengucapkan
selamat ulang tahun via ponsel saja Jimin sudah senang. Ah, memangnya Jimin itu
siapanya? Lelaki itu hanyalah adik tingkat yang dikenal oleh si gadis karena
kebetulan satu organisasi.
Bagi Seulgi—nama gadis yang berputar-putar di kepala Jimin
selama dua tahun terakhir, Jimin hanyalah adik tingkat biasa. Ya, setidaknya
itulah yang dipikiran oleh Jimin. Atau mungkin, adik tingkat yang baik.
Mengingat Jimin adalah orang yang memeluknya, orang yang menjadi sandaran
ketika Seulgi dalam keadaan terpuruk—pasca putus dengan kekasihnya yang ia
pacari selama empat tahun, Im Jaebum.
Jimin menganggap itu sebagai bentuk rasa sukanya pada
Seulgi. Sayangnya, bagi Seulgi itu hanya hal biasa. Seulgi tidak mau berharap
lebih, mengingat Jimin adalah tempat curhat bagi anak-anak organisasi.
Hal yang tersulit bagi Jimin, karena ia baik pada semua
orang, menyusahkan dirinya untuk menunjukkan perasaan berbeda pada Seulgi.
Jimin pernah tidak sengaja mendengar obrolan Seulgi dengan Taehyung, di suatu
sore. Di ruang organisasi. Mereka diam-diam membicarakannya.
“Noona, sepertinya
Jimin menyukaimu.”
Seulgi yang sedang mencatat sesuatu, langsung menatap
Taehyung. “Tidak mungkin.”
Taehyung berdecak, “Lihat saja perilakunya! Dia memberikan
perhatian lebih padamu.”
Seulgi tertawa. “Dia memang orang yang baik. Bukan hanya padaku
saja, kok.”
“Kau ini,” Taehyung menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kukasih
tahu tidak percaya. Sudahlah, dengan Jimin saja. Daripada kau mengurusi Im
Jae—“ Belum selesai Taehyung berbicara, Seulgi melempar tempat pensil ke
arahnya.
“Dia saja sudah punya pacar, kok!” Taehyung lalu berlari
dari ruangan. Kabur sebelum ada barang-barang lain yang melayang ke arahnya.
“YA! Kim
Taehyung!”
Jimin pura-pura bermain ponsel pada saat itu. Ia seolah-olah
tidak mendengar apa-apa. Jimin tidak tahu, bahwa saat itu Seulgi mengamatinya.
“Jimin!” Taemin—tetangga samping rumahnya—memanggil. Jimin
yang sedang asyik melamun di teras, tersadar. Ia tersenyum pada Taemin.
Lelaki yang tiga tahun lebih tua darinya, mengambil tempat
di sampingnya. “Ada yang mau bertemu denganmu.”
Jimin mengerutkan kening, berpikir siapa yang ingin bertemu
dengannya.
Taemin mendekatkan mulutnya pada telinga Jimin, lelaki itu
berbisik, “Ia bahkan memberantaki dapurku hanya untuk memberikan hadiah spesial
bagimu.”
Seorang gadis datang, membawa sebuah kue. Jimin mengerjapkan
mata, memastikan bahwa yang dilihatnya bukan hanya sebuah ilusi semata. Yang
diharapkannya sejak tadi benar-benar datang.
“Silahkan kalian berdua berbincang, aku ada urusan.” Taemin
menepuk-nepuk bahu Jimin. Lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
“Selamat ulang tahun.”
Seulgi menyodorkan sebuah kue yang di atasnya ada beberapa lilin yang
menyala. Jimin mengucapkan impiannya dalam hati, lalu meniup lilinnya.
Dengan canggung, Jimin mengajak Seulgi masuk. Gadis yang
setahun lebih tua darinya itu mengikuti, lalu meletakkan kuenya begitu mereka
berdua sampai di ruang makan.
“Mau minum apa?” tanya Jimin.
“Apa saja.” Seulgi melihat-lihat sekeliling. Barang-barang
di rumah lelaki itu, tersusun rapi sesuai dengan tempat yang seharusnya. Tidak heran
Jimin sering merapikan ruang organisasi. Rumahnya saja seperti ini.
Seulgi mendadak jadi canggung, ketika menyadari bahwa rumah
sepi, dan sepertinya hanya ada mereka berdua di sini. Pasalnya, tidak ada suara
apa pun dari ruangan lain.
“Yang lain ke mana?”
“Ayah kerja, Ibu ke pasar, Jihoon kuliah.” Jimin menuangkan
sirup ke gelas, lalu meletakkannya di depan Seulgi. Jihoon adalah adik Jimin,
omong-omong.
“Noona?” Jimin
memanggil. “Boleh aku meminta kado darimu?”
“Boleh, kalau aku bisa memberinya.” Seulgi meletakan kembali
gelas isi sirup yang tadi ia minum.
Jimin berdeham, untuk menstabilkan suaranya, dan untuk
mengurangi rasa gerogi. “Will you be my
girlfriend?”
“What would you ask
for? If you knew the answer is yes?”
0 komentar:
Post a Comment