Hujan tiba-tiba berhenti. Lebih tepatnya, hujan di atas
kepalaku. Sementara di depan sana titik-titik air masih berjatuhan. Merasa janggal, aku mendongak. Ternyata ada
sebuah payung yang melindungi kepala. Ah, pantas saja.
“Kenapa hujan-hujanan?” tanya Cha Eunwoo—sang pemilik
payung— kini berdiri di sebelahku.
“Tidak punya payung.” jawabku asal. Padahal, itu sama sekali
bukan jawaban yang tepat. Akan kuceritakan jawaban yang sesungguhanya. Alasan
aku membiarkan air hujan membasahi tubuhku adalah untuk menutupi fakta bahwa
aku sedang menangis. Kau tahu kan, di saat hujan air mata menjadi tidak
terlihat. Menyatu dengan titik-titik air yang berjatuhan dari langit.
“Bohong.” Cha Eunwoo menyahut.
“Bohong apanya?”
“Kau menangis.” Katanya blak-blakan.
“Tidak.” Aku mengelak. Tentu saja aku tidak ingin Cha
Eunwoo, lelaki yang selalu menjadi teman debat, saingan, sekaligus tetangga
juga, dan sahabat—ugh, aku sungkan sekali menyebutnya begitu, tapi aku akui kami
cukup akrab—mengetahui bahwa aku sedang menangis. Gengsi.
Karena bagaimanapun juga, aku adalah Jung Chaeyeon. Moodmaker di antara teman-temannya. Kan
tidak lucu kalau aku ketahuan menangis. Apalagi masalahnya sepele. Hanya karena
aku gagal menjadi MC di acara perpisahan. Tuh, kan. Sepele.
Yah, mungkin bagi kebanyakan orang ini adalah masalah
sepele. Tapi aku sudah berlatih setengah mati. Bahkan mengenyampingkan ujian
sekolah. Ini adalah kesempatan terakhirku. Orang tuaku tidak ingin melihatku
naik ke atas panggung, hanya kali inilah mereka mengijinkan. Mereka lebih
memilih aku mendapat nilai tinggi dan menjadi salah satu siswa yang namanya
disebut ketika pembacaan peringkat paralel.
Sayang sekali, kesempatan pertama dan terakhir, menghilang
begitu saja.
“Hm yah, terserah kau saja, Jung Chaeyeon.”
Baru saja aku hendak
berbicara, Cha Eunwoo memotongnya.
“Padahal kalau kau mau bercerita, aku bisa jadi pendengar
yang baik, loh.”
“Cih. Sudah sana pulang, ini rumahmu!”
Aku baru saja hendak mendorong lelaki itu, tapi dia sudah
menghindar terlebih dahulu.
Oh iya, sebagai saingan, Cha Eunwoo memang benar-benar sulit
untuk dikalahkan. Ia selalu berada di peringkat satu, dan aku selalu menjadi
peringkat dua. Cha Eunwoo adalah nama yang selalu disebut oleh kedua orang
tuaku. Untuk menjadi bahan pembanding dengan prestasi yang kuraih.
Pernah sekali aku berada di peringkat dua. Itu pun karena
dia fokus pada olimpiade di luar negeri sehingga mau tak mau ia banyak absen.
“Aku mau mengantarmu.”
Mengantar? Aku tidak salah dengar?
“Hah?”
“Ayo jalan. Sebelum aku berubah pikiran.”
Yasudahlah. Aku sedang tidak ingin berdebat. Aku ingin cepat
pulang dan beristirahat.
“Chaeyeon,”
“Hm?” jawabku cuek.
“Sepertinya semester depan kau akan peringkat satu.”
Dahiku mengernyit. Sungguh aku heran. Ini seperti bukan Cha
Eunwoo. Yang kutahu, lelaki di hadapanku ini sangat ambisius. Ia tidak ingin julukan
‘si peringkat satu’ berganti padaku. Aneh.
Kenapa dia tiba-tiba bilang seperti
ini?
“Kalau aku peringkat satu. Kau bagaimana?”
Bukannya menjawab. Lelaki itu justru berhenti. Dan berkata,
“Nah. Sudah sampai.” Ia melihat ke arahku, “Sana masuk. Aku mau pulang.”
Aku mengangguk. Lalu berjalan mendekati pagar. Baru saja aku
mau membuka pagar, lelaki itu memanggil.
“Makasih, ya,” ucapnya sembari tersenyum. Entah kenapa, aku
merasa senyumnya aneh. Dan lagipula, bukankah seharusnya aku yang mengucapkan
terimakasih? Kenapa jadi dia? Ah, sudahlah tidak usah dipikirkan.
“Oh iya,” Cha Eunwoo memanggil lagi.
“Apa lagi, sih?” tanyaku agak kesal.
“Ini,” Lelaki itu melipat payungnya, lalu memberikannya
padaku.
Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti dengan Lelaki di
hadapanku ini. Kenapa ia memberikannya padaku? Bukankah ini artinya dia akan
kehujanan?
“Sudah, terima saja. Anggap saja kenang-kenangan.” Setelah
berkata begitu, Cha Eunwoo langsung
pergi. Ia berlari menembus hujan.
Meskipun bingung, aku tetap menerima payung itu dan
membawanya masuk ke dalam rumah.
Baru saja aku masuk, ibu langsung berlari memelukku.
Kejadian Cha Eunwoo berterimakasih dan mau mengantarku pulang saja sudah aneh.
Ini lagi. ibuku tiba-tiba memelukku, dan yang lebih aneh semua anggota
keluargaku kumpul di ruang tamu. Mereka menatapku dengan tatapan iba.
Seolah-olah aku baru saja terkena musibah.
Kenapa sih? Apa jangan-jangan mereka tahu kalau aku gagal
jadi MC?
“Ibu kenapa?”
Bukannya menjawab, Ibu hanya mengelus punggungku.
“Eunwoo kecelakaan di depan sekolah. Tadi keluarganya
mengabarkan kalau ia meninggal.”
TU-
TU-
Tunggu, lalu ini payung siapa?
Kakiku tiba-tiba terasa lemas. Setelahnya, semua menjadi
gelap.
0 komentar:
Post a Comment