Kata orang, cinta itu datang karena terbiasa. KATANYA. Tapi
sepertinya kalimat itu sama sekali tidak mempan untuk seseorang. Yah, itu sih
jika bersama selama dua puluh dua tahun termasuk dalam kata terbiasa.
Banyak orang di luar sana yang memiliki kisah indah dengan
sahabatnya sendiri. Awalnya, orang itu akan takut untuk mengungkapkan
perasaannya. Lalu dengan dukungan dari teman-teman yang lain, orang tersebut
mengungkapkan perasaannya. Dan....
Ternyata sahabatnya juga memiliki perasaan yang sama.
Sungguh sebuah keberuntungan. Tapi nyatanya, hidup tidak
semulus itu, bung! Faktanya, aku sudah berteman dengan seseorang sejak dua
puluh dua tahun yang lalu—kami sudah saling mengenal dari bayi, bahkan. Tapi
orang tersebut sama sekali tidak menganggapku laki-laki. Sialan, memang.
Padahal, aku adalah orang yang selalu ada ketika dia sedang
membutuhkan bantuan. Aku adalah yang menghiburnya di saat ia sedih. Dan
aku—oke, cukup. Aku tidak ingin mengumbar semua kebaikanku padanya. Aku tidak
mau pamer.
Ah iya, seseorang yang kumaksud ini bernama Lalisa. Kami
sudah mengenal sejak bayi karena memang orang tua kami sangat dekat. Rumah kami
bersebelahan. Membuat kami sering bermain bersama dari dulu hingga sekarang.
“Bambam!” seseorang memanggil.
Wah, sangat kebetulan sekali. Orang yang sejak tadi aku
sebut-sebut, ternyata datang memanggilku.
Ngomong-ngomong, aku sedang berada di teras rumah. Sambil
memainkan ponsel. Yah, walau kenyataannya hanya tatapan mataku saja yang
menghadap ponsel, tapi pikiranku melanglang buana ke mana-mana.
“Kau mau menemaniku, tidak?” tanya Lisa.
Tentu saja aku mengangguk. Siapa sih, yang tidak mau
menemani orang yang dia suka?
“Ke mana?”
“Membeli sesuatu.”
***
“Kau lebih suka yang mana?” perempuan itu menunjukkan dua
kemeja laki-laki padaku. Satunya berwarna abu-abu, satunya kotak-kotak merah.
“Abu-abu,” jawabku.
Perempuan itu mengangguk-angguk, lalu menempelkan kemeja
yang masih di hanger itu pada tubuhku.
“Wah, sepertinya
cocok.”
Sebentar. Kenapa dia melakukan itu? Apa itu artinya dia
membelikan kemeja ini untukku?
“Baiklah. Aku akan membeli ini.”
“Kau beli untuk siapa?”
“Rahasia! Tapi sebentar lagi kau akan tahu, kok!”
WAH. Sudah jelas. Pasti kemeja itu untukku. Biasanya dia
akan langsung memberi tahu jika hadiah itu untuk orang lain.
***
“BAMBAM!” Lisa memanggil.
Kali ini, aku sedang di kampus. Yah, kami memang satu
kampus.
“Arah jam dua!”
Aku mengikuti intruksinya. Pandangan mataku menuju ke arah
yang ia katakan. Dan mendapati seseorang mengenakan topi dan juga masker,
sedang bermain ponsel. Sungguh aku tidak tahu apa maksudnya. Bahkan aku tidak
kenal dengan orang itu.
Aku menoleh ke arah Lisa, sambil memasang ekspresi bingung.
“Perhatikan sekali lagi!”
Oh astaga, jika bukan karena orang yang kusukai, aku tidak
mungkin akan memerhatikan laki-laki sampai sebegininya.
Dengan sangat terpaksa, aku melihat seseorang itu lagi.
Untung saja ia sedang asyik bermain ponsel. Jika tidak, aku pasti sudah
dipandang aneh karena sejak tadi memerhatikannya.
Sial.
Aku sudah menyadari sesuatu sekarang.
Oh, aku merasakan ada suara-suara retakan di dalam dadaku.
Oke, ini berlebihan. Tapi serius, ada sedikit—atau banyak mungkin—rasa sakit di
sana.
Kau tahu apa? Seseorang yang sejak tadi aku perhatikan,
memakai kemeja berwarna abu-abu.
FIN
ini loh seseorang laki-laki yg dimaksud bambam hehe |
0 komentar:
Post a Comment