Sudah seminggu terlewati semenjak Mark mengungkapkan
perasaannya. Sialan memang, ia sudah membuang gengsinya jauh-jauh, tapi si
gadis justru hanya tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Lalu setelahnya apa,
justru melakukan hal seperti biasanya seolah tidak terjadi apa-apa.
Seperti saat ini, mereka berdua—Mina dan Mark—sedang duduk
berhadapan di sebuah kafe. Iya, duduknya sih
berhadapan. Tapi mereka sibuk dengan tugas masing-masing. Mark sibuk dengan
makalahnya, begitu juga dengan Mina. Dua-duanya asyik menatap laptop
masing-masing.
Ehm, sepertinya kalimatnya perlu diralat. Mark pura-pura
sibuk dengan makalahnya. Padahal pikirannya melanglang buana mengingat kejadian
seminggu lalu. Ugh, Mark menggaruk kepalanya frustasi. Tapi sepertinya
pergerakannya terlalu heboh sampai-sampai membuat Mina menghentikan
aktivitasnya, dan menurunkan layar laptopnya.
“Kenapa?” tanya Mina bingung. “Tugasnya susah?”
Mark menggeleng.
“Terus?”
“Tidak papa.”
Bodoh. Mark merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia bertanya
mengenai seminggu yang lalu. Kenapa ia justru menjawab tidak apa-apa? Padahal
jelas-jelas ia sedang ada apa-apa.
“Oi,”
“Hah?”
“Kenapa? Malah bengong.”
Mark menggaruk tengkuknya. Ia berusaha untuk tidak terlihat
salah tingkah, tapi sepertinya gagal total karena yang terjadi justru
sebaliknya. “Anu, engg,” Mark masih berusaha untuk berbicara, tapi tetap saja
kata-kata yang sudah terangkai di otaknya tidak bisa keluar.
“Kenapa sih?” Mina jadi gemas sendiri melihat tingkah Mark.
“Nanti saja.” kata Mark pada akhirnya, menyerah.
Mina menghela napas, lalu menaikkan lagi layar laptopnya.
Melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti.
Sementara Mark, memandang laptopnya dengan pikiran yang
campur aduk. Kalau begini caranya, bagaimana ia bisa fokus mengerjakan tugas?
Yang ada bukannya selesai, justru makin kacau.
“Mark?”
“Ha?”
“Tuh kan bengong lagi. Kenapa sih? Ada masalah?” tanya Mina.
Kali ini dia sudah menutup laptopnya.
Mark mengulum bibirnya, ia berusaha sekuat tenaga mengontrol
sikapnya sekaligus berusaha agar kata-kata yang sudah terangkai di otaknya,
bisa keluar dengan benar tanpa ada salah eja.
“Soal, seminggu yang lalu,” kata Mark, menelan ludahnya. Ia berharap Mina
langsung mengingatnya, jadi ia tidak perlu memperjelas lagi apa maksudnya.
“Seminggu yang lalu?” tanya Mina bingung.
Masa harus diperjelas
sih?
“Aku menunggu jawaban dari pertanyaan seminggu yang lalu.”
Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari bibirnya.
“Pertanyaan?” Mina terlihat bingung.
Oh astaga, kenapa bagi Mark wajah bingung Mina menjadi
sangat menggemaskan begini?
“OH!”
Mark bernapas lega, karena akhirnya Mina paham apa yang ia
maksud.
“Masa harus aku perjelas sih? Kukira kau sudah paham.”
Kini justru Mark yang melongo.
“Kalau aku tidak merasakan hal yang sama, ngapain juga aku
mengajakmu mengerjakan tugas bersama?”
“Eh?” Mark mengerjap-ngerjap. Berusaha mencerna apa yang
baru saja dikatakan oleh Mina.
“Jadi, kita—“
“Iya. Sudah ah, aku malu.” Mina kemudian menutup wajahnya,
dan hal itu membuat Mark semakin gemas.
fin
0 komentar:
Post a Comment