Ayah Arsen dan Ara |
Hari ini tanggal enam juli, harusnya Arsen sudah pulang
sejak tadi. Mengingat hari ini adalah ulang tahun anak gadisnya—Ara—yang ke
lima. Di layar ponselnya juga sudah tercatat dua puluh panggilan tak terjawab
dari sang istri.
Ini sudah jam sembilan malam, tapi Arsen masih harus meeting. Sialan memang, padahal ia telah
berjanji akan merayakan ulang tahun anak gadisnya, dan memberikan sebuah
hadiah. Nyatanya? Boro-boro memberikan hadiah, ia bahkan tidak menampakkan
batang hidungnya saat pesta ulang tahun Ara berlangsung.
“Pak Arsen?” panggil asistennya.
“Iya?” Lelaki itu tersadar dari lamunannya, lalu menoleh ke
arah perempuan yang tadi memanggilnya.
“Meetingnya sudah
selesai, Pak.”
Arsen menyisir ke seluruh ruangan, orang-orang di sekitarnya
terlihat sedang berkemas, dan bosnya ternyata sudah keluar dari ruangan.
***
“Ayah jahat!” Ara memukul-mukul boneka beruang yang
diberikan ayahnya saat ulang tahun sebelumnya. “Ayah jahat!” teriaknya lagi.
Tumpukkan hadiah yang diberikan oleh teman-temannya tadi seolah
tidak berguna. Gadis kecil itu bahkan sama sekali tidak meliriknya. Ia bisa saja tadi tersenyum senang saat
teman-temannya datang. Tapi saat semuanya pulang, dan jam menunjukkan pukul
delapan, gadis itu menangis sejadi-jadinya.
Tanpa babibu, ia langsung masuk kamar dan mengunci pintunya.
Baginya saat ini, Ayahnya adalah seorang pembohong besar. Bahkan lebih kejam
dari penjahat manapun.
Sang ibu sudah berusaha untuk menenangkan, tapi tetap tak
digubris karena yang dibutuhkan oleh gadis kecil itu saat ini adalah Sang Ayah.
Ia masih belum lelah untuk menangis, padahal sudah terhitung satu jam sejak
tadi dia mulai membanting pintu kamar.
“Araaaaaa, sabar ya sebentar lagi ayah pulang,” ucap sang
Ibu dari luar pintu.
Ara tidak peduli. Ibunya juga pembohong. Sudah sejak tadi
sang Ibu berkata sebentar lagi, sebentar lagi, dan sebentar lagi. Kenyataannya?
Selama apa sebenarnya sebentar lagi? Sampai satu jam?
“Araa, ini Ayah.” Arsen kini sudah berdiri di depan pintu
kamar sang anak. Mengetuk-ngetuk pintunya.
Tangis Ara langsung berhenti. Gadis kecil itu berjalan
menuju pintu, membuka kuncinya, dan sosok sang ayah langsung menyambutnya di
balik pintu.
“Ayah Jahat!” teriaknya sambil memukul perut sang ayah.
Arsen berjongkok, menyejajarkan tinggi badannya dengan sang
putri, tangannya mengelus lembut kepala Ara.
“Ara mau hadiah apa? Nanti ayah belikan,” ucapnya kalem.
Mata gadis itu berbinar, “Beneran?”
Arsen mengangguk. Ia yakin, anak gadisnya ini paling meminta
boneka barbie, atau apalah yang ada sangkut pautnya dengan princess dalam kisah di film disney.
“Ara mau jalan-jalan keliling dunia! Naik pegasus! Ayah mau
ya, beliin Ara pegasus?”
Mati kau, Arsen. Mana ada pegasus di dunia ini?
Jika saja yang bicara seperti itu bukan gadis yang berumur
lima tahun, maka Arsen akan berkata bahwa itu adalah hal konyol. Dan hei, di
mana ada pegasus? Astaga, pegasus bahkan tidak pernah ada dan sekarang Arsen
harus membelinya.
“Pegasus itu keren, Yah! Besok kita beli yaaa!”
Arsen berpikir keras. Menyusun kata-kata yang bagus agar gadis
kecilnya dapat mengerti.
“Ara,” Arsen memulai. “Pegasus itu tidak ada yang jual. Dia
terlalu istimewa, jadi cuma orang-orang tertentu saja yang bisa punya.”
Raut wajah Ara langsung berubah drastis, “Jadi, Ara nggak
bisa keliling dunia ya, Yah?”
“Bisa, kok. Tapi naik pesawat. Bukan naik pegasus.”
“Ara mau beli pesawat!”
Mampus, kau Arsen.
“Iya, iya. Sekarang tidur dulu ya, besok belinya.” Kata
Arsen pada akhirnya. Ia terlalu lelah dan terlalu pusing untuk berpikir lagi.
Dan semoga saja gadisnya ini sudah lupa pasal pesawat atau pegasus saat bangun
nanti. Yah, semoga.
0 komentar:
Post a Comment