“Permisi, Kau tahu di mana rumah Damian?” tanya seorang
perempuan berambut pendek yang sudah bolak-balik dua kali melewati rumah Aurore.
Aurore yang sedang asyik menyirami bunga-bunganya,
menghentikan aktifitas. Ia menarik ujung-ujung bibirnya membentuk sebuah
lengkungan, lalu menangguk. Terlihat binar di mata perempuan itu kala Aurore
mengangguk.
“Kau tahu?” sepertinya, perempuan itu masih kurang yakin
dengan anggukan Aurore tadi.
“Iya,” tegas Aurore. Ia menunjuk sebuah rumah yang ada di
seberangnya. “Itu.” dan tepat setelah itu, Damian keluar dari rumah. Bukan,
bukan. Lelaki itu tidak keluar dari rumahnya. Tetapi dari rumah Aurore.
“Rore, kenapa laptopmu menda—“ Damian langsung berhenti
bicara ketika sepasang matanya menangkap kehadiran perempuan berambut pendek
yang entah siapa namanya. “Oh, hai Aleen.”
Yang dipanggil Aleen langsung melambai, melangkahkan kaki
menuju Damian dan langsung memeluknya. “Aku rinduuuuu! Kau apa kabar?” tanya
Aleen setelah melepas pelukannya pada Damian.
Astaga, langit terlalu cerah, dan bunga-bunga milik Aurore
terlalu indah untuk melihat raut tidak enak yang muncul di wajah Aurore yang
langsung berubah menjadi ceria—ehm, pura-pura ceria—saat Damian menatapnya.
Tatapan yang mengisyaratkan Aurore untuk menatap Damian.
“Oh, hai Aleen.” Gadis itu meletakkan gembornya, lalu bersalaman dengan Aleen. Seseorang yang
tiba-tiba datang dan berhasil membuat moodnya rusak.
“Hai,” Aleen menyambut tangan Aurore, “Namamu—“
“Aurore,”
“Hai, Aurore!”
“Aleen, ayo ke rumahku saja.” Damian kemudian menatap
Aurore, “Laptopmu mati, omong-omong. Padahal tugasku belum disimpan.”
“Tenang saja, bisa tersimpan otomatis kok.”
Aurore sebenarnya malas harus berpura-pura, lagipula kenapa
sih Aleen harus melempar sebuah senyuman padanya? Jadi dengan sangat terpaksa—karena
ada Damian—Aurore membalas senyum gadis itu.
Aurore hanya bisa tersenyum pahit memandang punggung
seseorang yang telah membuatnya jatuh, dan perempuan yang selalu Damian
ceritakan sampai keduanya telah menghilang, di balik pintu rumah Damian.
***
Aurore tidak henti-hentinya mengintip dari balik jendela,
menunggu Damian dan Aleen keluar rumah, tapi tidak kunjung keluar juga.
Lagi-lagi, yang terdengar hanya tawa mereka berdua—pintu rumah Damian tebuka omong-omong.
Padahal sudah dua jam si Aleen itu bertamu. Dan hari makin gelap.
Ah, seharusnya sejak lalu Aurore mencegah dirinya jatuh terlalu dalam pada
Damian.
***
“Rore, kau menangis?” tanya Damian keesokan harinya.
Aurore tertawa canggung, “Aku menonton film sedih.”
Damian hanya ber ooh ria. “Ngomong-ngomong, aku senang bisa
bertemu dengan Aleen. Aku tidak menyangka dia mencari rumahku.”
Astaga, Damian. Tolong jangan soal Aleen. Lagi.
“Lalu?” Ah, bodoh. Kenapa pula Aurore harus bertanya?
“Yah, dia ingin kami kembali seperti dulu.” Jawab Damian
enteng. Ia tidak paham, bahwa ada sesuatu yang patah sekarang.
Lelaki itu tersenyum, “Tentu saja aku tidak mau. Perasaanku
sudah berubah. Berbelok dari Aleen menuju tetanggaku yang menyebalkan.”
Aurore tidak bisa menyembunyikan senyumnya, dia terlalu
bahagia. Maaf saja untuk Aleen, yang kini merasakan segala hal yang pernah
dirasakan oleh Aurore dua tahun.
0 komentar:
Post a Comment