Feel Changed

Image result for bunga aesthetic tumblr

“Permisi, Kau tahu di mana rumah Damian?” tanya seorang perempuan berambut pendek yang sudah bolak-balik dua kali melewati rumah Aurore.


Aurore yang sedang asyik menyirami bunga-bunganya, menghentikan aktifitas. Ia menarik ujung-ujung bibirnya membentuk sebuah lengkungan, lalu menangguk. Terlihat binar di mata perempuan itu kala Aurore mengangguk.

“Kau tahu?” sepertinya, perempuan itu masih kurang yakin dengan anggukan Aurore tadi.

“Iya,” tegas Aurore. Ia menunjuk sebuah rumah yang ada di seberangnya. “Itu.” dan tepat setelah itu, Damian keluar dari rumah. Bukan, bukan. Lelaki itu tidak keluar dari rumahnya. Tetapi dari rumah Aurore.

“Rore, kenapa laptopmu menda—“ Damian langsung berhenti bicara ketika sepasang matanya menangkap kehadiran perempuan berambut pendek yang entah siapa namanya. “Oh, hai Aleen.”

Yang dipanggil Aleen langsung melambai, melangkahkan kaki menuju Damian dan langsung memeluknya. “Aku rinduuuuu! Kau apa kabar?” tanya Aleen setelah melepas pelukannya pada Damian.

Astaga, langit terlalu cerah, dan bunga-bunga milik Aurore terlalu indah untuk melihat raut tidak enak yang muncul di wajah Aurore yang langsung berubah menjadi ceria—ehm, pura-pura ceria—saat Damian menatapnya. Tatapan yang mengisyaratkan Aurore untuk menatap Damian.

“Oh, hai Aleen.” Gadis itu meletakkan gembornya,  lalu bersalaman dengan Aleen. Seseorang yang tiba-tiba datang dan berhasil membuat moodnya rusak.

“Hai,” Aleen menyambut tangan Aurore, “Namamu—“

“Aurore,”

“Hai, Aurore!”

“Aleen, ayo ke rumahku saja.” Damian kemudian menatap Aurore, “Laptopmu mati, omong-omong. Padahal tugasku belum disimpan.”

“Tenang saja, bisa tersimpan otomatis kok.”

Aurore sebenarnya malas harus berpura-pura, lagipula kenapa sih Aleen harus melempar sebuah senyuman padanya? Jadi dengan sangat terpaksa—karena ada Damian—Aurore membalas senyum gadis itu.

Aurore hanya bisa tersenyum pahit memandang punggung seseorang yang telah membuatnya jatuh, dan perempuan yang selalu Damian ceritakan sampai keduanya telah menghilang, di balik pintu rumah Damian.

***

Aurore tidak henti-hentinya mengintip dari balik jendela, menunggu Damian dan Aleen keluar rumah, tapi tidak kunjung keluar juga. Lagi-lagi, yang terdengar hanya tawa mereka berdua—pintu rumah Damian tebuka omong-omong.

Padahal sudah dua jam si Aleen itu bertamu. Dan hari makin gelap. Ah, seharusnya sejak lalu Aurore mencegah dirinya jatuh terlalu dalam pada Damian.

***

“Rore, kau menangis?” tanya Damian keesokan harinya.

Aurore tertawa canggung, “Aku menonton film sedih.”

Damian hanya ber ooh ria. “Ngomong-ngomong, aku senang bisa bertemu dengan Aleen. Aku tidak menyangka dia mencari rumahku.”

Astaga, Damian. Tolong jangan soal Aleen. Lagi.

“Lalu?” Ah, bodoh. Kenapa pula Aurore harus bertanya?

“Yah, dia ingin kami kembali seperti dulu.” Jawab Damian enteng. Ia tidak paham, bahwa ada sesuatu yang patah sekarang.

Lelaki itu tersenyum, “Tentu saja aku tidak mau. Perasaanku sudah berubah. Berbelok dari Aleen menuju tetanggaku yang menyebalkan.”

Aurore tidak bisa menyembunyikan senyumnya, dia terlalu bahagia. Maaf saja untuk Aleen, yang kini merasakan segala hal yang pernah dirasakan oleh Aurore dua tahun.

0 komentar:

Post a Comment