Kehilangan. Hampir setiap orang pernah mengalami kehilangan.
Tidak terkecuali dengan gue. Tapi sejujurnya, gue belum pernah merasakan
kehilangan yang amat sangat, sih. Kalau ada stadiumnya, mungkin kehilangan gue
hanya mencapai stadium dua. Tidak sampai stadium akhir.
Kehilangan yang paling-paling adalah saat gue kehilangan
seseorang yang pernah mengisi hari-hari gue selama enam tahun—eh, atau mungkin
tujuh tahun?—dia masih hidup, kok. Bahkan kami masih berada di satu kota. Rumah
kami pun sangat dekat. Bahkan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Tapi anehnya,
kami tidak pernah bertemu. Mungkin Tuhan tidak ingin mempertemukan kami.
Di antara gue dan dia, tidak ada yang menawarkan janji untuk
bertemu. Seandainya gue pingin, gue bisa kok dateng ke rumah dia langsung. Dan
dia juga bisa langsung dateng ke rumah gue. Kami juga punya kontak satu sama
lain, kok. Hanya saja, entahlah. Ini sulit dijelaskan.
Keadaan tiba-tiba membuat kami terpisah jauh. Gue pun masih
kurang paham kenapa kami menjadi seperti ini. Dan gue nggak perlu memahami.
Toh, jika gue paham dengan apa yang terjadi, belum tentu hubungan kami bisa
menjadi seperti dulu.
Kehilangan selanjutnya adalah kehilangan waktu. Waktu adalah
sesuatu yang berharga. Gue kehilangan waktu untuk beristirahat karena
matrikulasi yang ujung-ujungnya tidak terpakai. Ah, mungkin permasalahan ini
hanya bisa dipahami oleh teman satu angkatan gue yang menjadi korban kurikulum.
Selanjutnya lagi, kehilangan sesuatu. Kehilangan sesuatu ini
masih teringat jelas dalam pikiran gue. Gue kehilangan helm. Baiklah, mungkin
ini terkesan remeh. Tapi, gue bener-bener merasa kehilangan. Lagipula kan,
penilaian orang tentang kehilangan kan berbeda-beda.
Asal tahu saja, helm itu masih baru. BARU PERTAMA KALI
DIPAKAI. Jika perlu gue garis bawahi. Kadang, kehilangan sesuatu yang baru kita
dapat itu lebih sakit daripada kehilangan sesuatu yang sudah lama kita dapat.
Terlebih lagi, kehilangan itu datang secara tiba-tiba dan tidak terduga.
0 komentar:
Post a Comment