Cast: Kim Taehyung and OC: Jasmine
Jasmine
bersungut-sungut. Sepanjang perjalanan menuju kelas, semua kata umpatan keluar
dari mulutnya. Umpatan itu ditujukan pada lelaki yang berhasil membuatnya jalan
terpincang-pincang menuju kelas. Yah, meskipun penyebab dari pincangnya bukan hanya
karena lelaki itu saja. Tapi tetap saja. Tadi pagi, saat dia terbangun dari
jatuh indahnya di tangga rumah, ia masih mampu berjalan normal. Dan gara-gara
kakinya pincang, ia terlambat satu menit. Cih.
Gadis—yang
mulai sadar bahwa ia harus berhenti mengumpat—menarik kenop pintu. Sesuai
dugaannya si Dosen Tak Pernah Terlambat sudah ada di sana. Astaga, padahal ia
baru terlambat satu menit.
"Permisi,"
ucap Jasmine pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat sekarang—tentu saja
bukan karena dia jatuh cinta.
Memasuki
ruangan ketika Dosen Tak Pernah Terlambat sudah ada di ruangan merupakan
kesalahan besar sekakigus bodoh. Lelaki paruh baya itu tidak akan pernah
memberikan izin pada siapa pun yang datang terlambat. Satu detik sekalipun.
"Keluar
kamu!”
Sebuah
teriakan yang berhasil membuat seluruh pasang mata di dalam kelas menuju ke
arahnya.
Keluar? Oh,
astaga. Ia bahkan belum masuk ke kelas! Kau tahu, dia masih berdiri di bibir
pintu, dengan satu tangan yang masih memegang kenop pintu.
Gadis itu
menutup pintu sembari berpikir apa yang harus dilakukannya sekarang. Seandainya
saja ia melihat wajah lelaki yang menabraknya, dan seandainya kakinya tidak
sakit, ia akan berkeliling kampus untuk menemui lelaki itu. Dan tamparan akan
mendarat di pipinya.
Mungkin saat
ini gadis itu harus mengurungkan niatnya untuk menampar lelaki yang tidak tahu
diri, yang bahkan tidak mengucapkan kata maaf setelah berhasil membuatnya
kehilangan keseimbangan. Ia lebih baik menelepon sang kakak yang baru saja
mengantar ke sini, untuk menjemputnya.
Kakaknya
pasti akan mengomel. Dan omelannya akan lebih parah dari sang ibu.
Tapi Jasmine
tidak peduli. Mendengar omelan sang kakak bukanlah hal yang menakutkan. Lebih
baik ia minta dijemput daripada ia harus pulang menggunakan angkutan umum, atau
menunggu sampai kakaknya menjemput ke sini sesuai jadwal yang tadi ia katakan.
Tangan gadis
itu meraba saku kemejanya, dan ajaib! Tidak ada ponsel di sana. Baiklah,
mungkin saja gadis itu tidak menaruhnya di sana. Ia kemudian merogoh-rogoh isi
tasnya, ia bahkan hampir mengeluarkan seluruh isi tasnya, tapi hasilnya nihil.
Jangan-jangan,
ponsel itu jatuh saat ia menabrak lelaki tadi? Dengan amat sangat terpaksa, ia
kembali ke lokasi kejadian.
Nihil. Tidak
ada apa-apa di sana.
Bagus!
lelaki itu—yang tak ia kenal—sukses membuat harinya berantakan. Dan membuat
ponselnya hilang. Perlu digaris bawahi. Ponsel. Ponsel. Asal kau tahu saja,
Jasmine perlu menabung selama setahun untuk mendapatkan ponsel itu. Lalu
sekarang apa? Ponsel itu lenyap entah ke mana.
Ia juga
tidak bisa menghubungi kakaknya. Bagus. Ia terpaksa harus pulang menggunakan
kendaraan umum—hal yang sangat tidak ia sukai.
Awas saja
kalau lelaki itu berani menampakan wajah di hadapannya. Sebuah tamparan, atau
mungkin pukulan akan melukai tubuh lelaki itu. Lihat saja. Jasmine bukanlah perempuan
yang doyan mengoceh jika sedang kesal. Ia lebih suka bermain tangan.
Begitulah.
Kadang kelihaiannya dalam beladiri disalahgunakan.
***
Jasmine
sedang membaca buku di perpustakaan kampus. Yang terpaksa ia lakukan karena
kemarin ia tertinggal pelajaran. Terlebih lagi, tugas-tugas yang menggunung
tidak ada habisnya mengharuskan ia membaca buku lebih banyak untuk
mengerjakannya.
Perempuan
asli Amerika itu menoleh ketika seseorang mengambil salah satu buku yang tadi
ia ambil. Mata diamondnya menemukan
seorang lelaki berwajah asia tersenyum ke arahnya.
“Kau gadis
yang waktu itu, kan?”
Waktu itu
yang mana? Bagi Jasmine, dua kata itu terlalu ambigu.
“Karena
hanya ada beberapa gadis di sini yang rambutnya merah muda, tidak sulit untuk
menemukanmu.”
Kalimat yang
dilontarkan oleh lelaki itu sukses membuat dahi Jasmine berkerut. Ia masih
sibuk mencerna kata demi kata yang diucapkan oleh lelaki itu. Otaknya masih
belum fokus. Pikirannya masih terfokus pada materi-materi di buku yang baru
saja dibacanya. Terlebih lagi, ia sama sekali belum pernah bertemu dengan
lelaki di hadapannya ini.
“I am sorry. Soal yang kemarin,” bisik
lelaki itu. Ia itu mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. “Ini,” Ia
menyerahkan ponsel pada gadis itu. Ponsel yang sama persis dengan miliknya.
Ah, Jasmine
paham sekarang! Lelaki berwajah asia inilah yang berhasil membuatnya
melontarkan sumpah serapah yang tidak ada habisnya kemarin. Yang ingin Jasmine
tampar wajahnya. Ini. Lelaki ini.
“Sebenarnya
itu bukan ponselmu, sorry. Ponselmu
terinjak. Dan layarnya pecah. Tapi tenang saja, kok. Data-datamu sudah di back-up dan ditaruh di situ.” Lelaki itu
kemudian merogoh saku celananya—kali ini sebelah kanan—lalu mengeluarkan ponsel
yang model dan warnanya sama persis seperti tadi. Bedanya, ponsel ini layarnya
pecah.
Jasmine
mengerjap-ngerjapkan matanya. Lelaki ini kebanyakan uang atau bagaimana? Ia
membelikan Jasmine ponsel baru? Kau tahu, kan. Harga ponsel tidaklah murah.
Terlebih lagi, jika ponsel itu diberikan pada orang lain. Pasti harganya terasa
dua kali lipat lebih mahal dari harga aslinya.
Belum sempat
Jasmine bertanya, lelaki itu sudah mengoceh lagi.
“By the way, namaku Kim Taehyung. Kau
bisa memanggilku Taehyung. Namamu siapa?” Lelaki itu menarik ujung-ujung
bibirnya.
Jika lelaki
yang menabraknya tampan dan murah hati begini, Jasmine mana tega untuk
menamparnya. Jangankan menampar, mengumpat di hadapannya saja ia tidak ada
niatan.
“Jasmine.”
“Baiklah,
Jasmine. Maaf sekali karena kemarin aku tidak sempat meminta maaf karena aku
sedang sangat buru-buru.” Lelaki itu jeda sejenak. “Soal ponselmu, aku tidak
sengaja menginjaknya. Lalu aku ambil dan aku simpan. Ternyata layarnya pecah.
Jadi aku belikan yang baru.”
Tidak
bisakah lelaki itu membiarkannya bicara barang dua kata? Daritadi ia mengoceh
terus. Dia tidak sadar atau bagaimana sih? Mereka kan sedang di perpustakaan.
Lagipula, apa nyamannya mengobrol sambil berbisik?
Lelaki
bermarga Kim itu mulai membuka mulutnya. Sepertinya ia akan mengoceh lagi.
“Sebagai
permintaan maaf karena sudah membuat kau susah berjalan, bagaimana jika kita ke
Giulia? Jam sembilan malam, ya.” Lelaki itu bangkit.
Taehyung
berbalik arah, ia mendekatkan wajahnya pada Jasmine—yang sukses membuat gadis
itu tersipu malu.
“Jika kau
tidak ada kendaraan, kau bisa meneleponku. Aku akan menjemputmu. Itu,” Taehyung
menunjuk ponsel, “Sudah kusimpan nomorku di sana.” Taehyung menjauhkan wajahnya
dari Jasmine. Lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Sungguh,
Jasmine masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Maksudnya, Taehyung
mengajaknya makan malam?
Sebuah
kencan?
***
Jasmine
mematut diri di cermin. ia masih sibuk menyisir rambutnya—persiapan kencan
dengan Taehyung.
Agaknya,
kata kencan itu terlalu berlebihan. Mungkin, kata ‘makan malam bersama’ jauhlah
lebih tepat.
Tanpa
permisi, sang kakak lelaki yang tiga tahun lebih tua darinya—yang biasanya
mengantar jemput Jasmine—masuk ke kamarnya. Lelaki itu duduk di pinggir nakas
milik Jasmine.
“cepatlah,
kasihan lelakimu sudah menggu di depan.”
Dasar! Kakaknya
itu memang sangat pandai membual. Mana mungkin Taehyung sudah menunggu di
depan. Tahu rumahnya saja tidak. Lagipula, ia ‘kan tidak minta dijemput
oleh Taehyung. Ia bisa memgendarai
kendaraan sendiri—kakinya sudah sembuh omong-omong. Ya wajar sih, kakinya kan
tidak terlalu parah.
“Berhentilah
membual, Nick.” Jasmine masih sibuk membubuhkan bedak tipis di area pipinya.
“lihatlah
keluar. Jika kau tidak percaya.”
Ting tong
Ponsel—yang
diberikan oleh Taehyung—berbunyi. Pesan dari ang pemberi masuk.
Aku sudah di luar.
Setelah
selesai membaca pesan iyu, Jasmine buru-buru merapikan bedaknya, memasukkan
ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat ke luar rumah.
“Aku benar,
kan?” ucap sang kakak yang diabaikan oleh Jasmine.
Benar saja.
sebuah mobil merah sudah terparkir di halaman rumahnya. Karena dalam
keluarganya tidak ada yang memiliki mobil merah, sudah tentu bahwa mobil itu
milik Taehyung.
Kaca mobil
itu terbuka dan Jasmine melihat dengan jelas bahwa lelaki bermarga Kim itu
tersenyum ke arahnya.
“darimana
kau tahu alamat rumahku?” tanya Jasmine setelah ia masuk mobil.
“Sudahlah,
itu tidak penting.” Taehyung menunggu Jasmine selesai mengenakan safety belt sebelum akhirnya ia
menginjak gas.
Mobil
berwarna merah itu sukses meluncur di jalanan dengan kecepatan yang jauh
melebihi batas normal—menurut Jasmine. Astaga, lelaki ini bahkan menyetir lebih
cepat dari sang kakak—yang menurut Jasmine itu sudah cepat.
Jantung
gadis itu hampir copot ketika mobil tiba-tiba saja berhenti. Bukan tanpa alasan
sebenarnya, tapi lampu merah.
Untung saja
ia menggunakan safety belt. Jika
tidak, kepalanya pasti sudah membentur dashboard
dan cairan berawarna merah keluar dari kepalanya.
“Taehyung,
bisakah kau menyetir lebih pelan lagi?” pinta Jasmine.
“tadi
terlalu cepat buatmu? Padahal hanya seratus dua puluh kilometer per jam, loh.”
Hanya
katamu? Yang benar saja. seratus saja
sudah cepat. Apalagi seratus dua puluh? Gila dia.
“Bailah, setelah ini aku akan lebih pelan.”
Lampu merah
sudah berganti menjadi hijau. Syukurlah, lelaki itu menuruti janjinya. Ia
menyetir lebih pelan dari sebelumnya.
***
Jasmine
sebenarnya heran kenapa Taehyung mengajaknya ke Giulia malam-malam. Maksudnya,
kenapa lelaki itu tidak mengajaknya tadi saja? Saat mereka bertemu di
perpustakaan? Asal kau tahu ya, jarak dari Harvard University ke Giula jauh
lebih dekat dibanding jarak dari rumahnya ke restoran itu.
“Kenapa kita
harus pergi ke sana malam-malam begini?”
“Agar
romantis.”
Jawaban itu
mengejutkan Jasmine. Romantis? Apa dia tidak salah dengar?
Gadis itu
merasakan hawa panas merambat di sekitar pipinya. Oh, astaga. Pipinya bersemu
merah sekarang.
“Hei jangan
memandangiku terus. Pelayannya sudah menunggu, tuh.”
Demi
neptunus! Jasmine malu sekali! Ia buru-buru mengalihkan pandangan menuju menu
yang ada di hadapannya.
“Aku pesan bucatini all ‘amatricana,” ucap Jasmine
menunjuk salah satu gambar makanan di menu. “Lalu, pistacio
gelato dan secangkir caramel
macchiato.”
Pelayan itu
mengangguk, kemudian menuliskan pesanan Jasmine. Kali ini, sang pelayan beralih
ke arah Kim Taehyung yang sedang asyik membolak-balik menu.
“Roasted eggplant mezzaluna with shishito
peppers, chocolate terrine, dan caramel
macchiato.”
Pelayan itu
mengangguk kemudian meninggalkan meja mereka berdua.
“Omong-omong,
kau mau tidak jadi pacarku?” celetuk Taehyung tiba-tiba.
Mungkin
Jasmine akan tersedak jika ia sedang minum. Omongan Taehyung benar-benar tidak
masuk akal. Membuat gadis itu membulatkan matanya dan membulatkan bibir
membentuk huruf o.
Detak jantungnya
tak karuan. Lelaki yang ada di hadapannya benar-benar sinting. Maksudnya,
mereka kan baru saja bertemu tadi siang. Tapi, dengan berani-beraninya lelaki
itu mengajaknya berpacaran.
Sepertinya
Jasmine jauh lebih sinting dibanding lelaki itu. tanpa ragu, ia menganggukan
kepala. Bagus sekali, Kim Taehyung. Kau membuat seorang gadis yang bernama
Jasmine terjatuh kembali.
Yah,
sebenarnya Jasmine tidak sinting-sinting amat, sih. Maksudnya, gadis mana yang
akan menolak jika diajak pacaran dengan orang setampan dan sebaik Kim taehyung?
Gadis
berambut merah muda itu sebenarnya tidak ingin jatuh. Tapi, lelaki bermarga Kim
itu berhasil membuatnya jatuh. Tiga kali.
Taehyung
terkekeh, “Ternyata kau benar-benar menyukaiku, ya? Padahal tadi aku hanya
bercanda, loh.”
Sungguh,
Jasmine malu setengah mati. Ia ingin menyembunyikan wajahnya di suatu tempat
yang tak terjangkau oleh Taehyung. Terlebih lagi, rasa sesak tiba-tiba menyusup
ke dadanya. Entah datang darimana.
“Tenang
saja, aku tidak akan mematahkan hatimu, kok. Jadi, mari kita pacaran.”
AIGOO :')
ReplyDelete