Love is Not Over

source:here
“Apakah sebelumnya kita pernah bertemu?”  Lelaki bermata biru itu bertanya pada gadis berambut cokelat. Gadis yang baru saja menabraknya.

Gadis berambut cokelat itu menatap dalam-dalam wajah lelaki di hadapannya. Entah mengapa hatinya bergetar saat melihat wajah itu. Wajah yang seolah tak asing. Siapa?

“Kau Ariana, bukan?”

***

Jasmine sedang berjalan menuju kelas ketika Arthur—lelaki bermata biru yang  kagumi sejak lama—tiba-tiba datang menghampirinya. Lalu memberikan es krim vanilla—es krim kesukaannya.
Sebenarnya ia ingin mengucapkan terimakasih, tapi Arthur justru memberinya sebuah pertanyaan.

“Bagaimana jika kau menjadi pacarku?”

HAH?

Gadis yang ditanya tidak menjawab. Ia justru diam. Kepalanya menunduk. Memandangi sepatu putih yang dikenakannya. Membiarkan es krim di genggamannya meleleh membasahi tangan.

“Cepat kau makan es krimnya. Lihat, sudah meleleh.”

Gadis itu masih mematung. Entah kenapa tangannya tidak bisa bergerak.

“Baiklah, aku tidak memaksamu untuk menjawab sekarang. Sampai jumpa nanti!”

Arthur berbalik. Ia pergi meninggalkan Jasmine yang masih mematung. Jasmine masih berdiri di sana. Mematung. Entah kenapa kakinya terasa berat untuk melangkah. Detak jantungnya masih belum normal. Sungguh, gadis itu sebenarnya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah tadi hanya mimpi?

Gadis itu merasakan sesuatu di tangannya. Dingin.

“Astaga, es krimnya!” Ia buru-buru menjilati es krim miliknya sebelum mencair.

***

Ini sudah setahun sejak kejadian itu—saat Arthur memberikan es krim vanilla pertama kali pada Jasmine. Meskipun mereka sudah setahun berpacaran, Jasmine masih merasa aneh dengan sikap Arthur.

Lelaki bermata biru itu kadang melamun saat Jasmine sedang mengajaknya bicara. Dan, ia akan mengatakan hal yang tidak nyambung setelahnya.

“Kau mau akan apa?”

Tidak ada jawaban.

“Arthur?” Jasmine mengamit lengan lelaki bermata biru itu.

“Besok saja.”

Alis Jasmine bertaut.

“Eh, kau tadi bertanya apa?”

“Kau ini kenapa?” Jasmine justru balik bertanya. Yah, meskipun ia sudah tahu jawabannya—karena Arthur selalu menjawab pertanyaan itu dengan jawabn yang sama, selalu.

Arthur menggelengkan kepalanya, “Tidak apa-apa. Hanya terlalu banyak pikiran. Tugas kuliah.”

Jasmine menghela napas. Bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. Ia ingin lelaki bermata biru itu menceritakan masalahnya. Yah, siapa tahu Jasmine bisa membantu. Lagipula, seharusnya Arthur tidak perlu menutupi apa-apa lagi. Mereka ‘kan sudah menjalin hubungan selama setahun.

Sejujurnya, ini adalah sifat Arthur yang menjengkelkan. Jasmine merasa bahwa Arthur masih belum sepenuhnya percaya pada gadis itu. Arthur terlalu tertutup mengenai masalahnya. Padahal, Jasmine sama sekali tidak pernah menutup-nutupi masalahnya.

Bukan hanya itu sifat menjengkelkan dari Arthur. Lelaki bermata biru itu sering tiba-tiba pergi karena urusan mendadak.

“Jasmine?”

“Ya?”

“Bisakah kita makan lain kali saja? Temanku baru saja mengirim pesan. Penting.”

Jasmine menghela napas. Lagi. Tuh, kan benar. Sekarang apa? Arthur akan pergi meninggalkannya.
Dua sifat itu memang benar-benar menjengkelkan. Sangat-sangat menjengkelkan. Tapi di balik sifat menjengkelkannya itu, Arthur selalu berhasil membuatnya jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi.

Ketika Jasmine sedang ketakutan di malam hari misalnya, Arthur akan meneleponnya dan membiarkan gadis itu mengoceh sepuasnya di telepon. Sampai gadis itu tertidur, baru Arthur akan mematikan telepon.

Ketika mobil Jasmine sedang mogok misalnya, dan Jasmine terpaksa harus menaiki kendaraan umum, Arthur akan menanyakan di mana Jasmin lalu beberapa menit kemudian lelaki itu akan datang dan mengantarnya.

Arthur bukanlah tipe laki-laki yang selalu mengungkapkan kata cinta, ataupun laki-laki yang suka memberikan bunga pada kekasihnya. Memberikan kejutan pada saat Jasmine ulang tahun? Jangan harap. Lelaki itu justru lupa bahwa kekasihnya ulang tahun. Arthur bukanlah pria yang seromantis itu.
“Jasmine, kau tak apa, kan?”

Jasmine mengangguk. Yah, walau sebenarnya ia tidak ingin ditinggal oleh Arthur. Tapi gadis itu tahu diri. Mungkin saja urusan Arthur itu jauh lebih penting dibandingkan dengan makan malam dengannya. Jasmine tidak boleh egois.

“Baiklah. Aku pergi dulu ya, Ana!”

Ana?

“Ehm, maksudku Jasmine.” Arthur kemudian menarik ujung-ujung bibirnya. Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan Jasmine.

Ana itu siapa? Jangan-jangan, Arthur sedang dekat dengan gadis lain. Tapi setahu Jasmine, teman perempuan Arthur tidak ada yang namanya Ana. Ah, tapi siapa tahu saja.

***

Jasmine menempelkan ponsel ke telinganya. Tidak, tidak. Jasmine tidak sedang menelepon Arthur. Dia menelepon Caleb—teman Arthur sekaligus lelaki yang membuat Arthur mengenal dirinya.
“Cal, kau kenal dengan Ana?” tanya gadis itu ketika dia mendengar suara halo di seberang sana.

Lelaki itu terdiam sesaat, “Ana? Maksudmu Ariana?”

“Entahlah. Tapi kemarin Arthur memanggilku ‘Ana’.” Jelas Jasmine.

“Arthur tidak pernah cerita tentang Ana?”

Gadis itu menggeleng, “Tidak. Ada apa dengan gadis itu?”

“Kurasa kau harus mengetahui hal ini. Ariana adalah mantan kekasih Arthur sebelum dirimu, sekaligus cinta pertama Arthur.”

“Kenapa mereka putus?”

“Ariana meninggal karena kecelakaan.”

“Kapan?”

“Setahun sebelum kau menjadi kekasihnya.”

Hati Jasmine mencelos. Kenapa Arthur tidak pernah menceritakannya? Entah kenapa tiba-tiba saja dada Jasmine terasa sesak.

“Terimakasih, Cal.”

Gadis itu kemudian menutup teleponnya dan meletakkan ponselnya di kasur.

***

“Jasmine, maafkan aku.” Lelaki bermata biru itu tersenyum pada gadis di hadapannya.

“Tapi, kenapa tiba-tiba?” Gadis yang dipanggil Jasmine mengeluarkan buliran bening dari sudut matanya.

“Apa semua karena Ana?” Jasmine bertanya.

Kening lelaki itu berkerut, “Darimana kau tahu soal Ana?”

Jasmine menggeleng, “Tidak penting aku tahu darimana. Ini semua pasti karena Ana, kan?”

Arthur tidak menjawab pertanyaan gadis di hadapannya, “Maafkan aku, Jasmine. Maaf.”

“Kau jahat.” Tangan Jasmine mendarat di pipi Arthur. Gadis itu kemudian pergi meninggalkan kekasihnya. Ralat. Mantan kekasihnya.

***

“Ini bahkan belum ada seminggu.” Gadis itu tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. “Kau benar-benar pergi, Arthur.” Jasmine mengusap air matanya. Ia lalu meletakkan sebuket bunga yang beberapa saat lalu ia beli.

***

“Apakah sebelumnya kita pernah bertemu?”  Lelaki bermata biru itu bertanya pada gadis berambut cokelat. Gadis yang baru saja menabraknya.

Gadis berambut cokelat itu menatap dalam-dalam wajah lelaki di hadapannya. Entah mengapa hatinya bergetar saat melihat wajah itu. Wajah yang seolah tak asing. Siapa?

“Kau Ariana, bukan?”

Gadis itu menggeleng. Namanya memang bukan Ariana. Tapi ia merasa tidak asing dengan nama itu.

“Baiklah.” Lelaki bermata biru itu berjalan meninggalkan gadis itu.

Meskipun lelaki itu sudah pergi, Gadis berambut cokelat itu masih berusaha mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan lelaki itu.

Ah! Sekarang dia mengingatnya. Gadis itu berbalik, ia kemudian berlari mengejar lelaki itu.

***

Gadis berambut cokelat menyentuh pundak lelaki yang sejak tadi dikejarnya.

“Ada apa?” Lelaki bermata biru menoleh.

“Kau Arthur, kan?”


Lelaki bermata biru menarik ujung-ujung bibirnya. Membentuk sebuah senyuman. Ia bahagia. Kematiannya tidak sia-sia.

1 komentar: