Surat untuk Ayah


Pria berambut cepak itu membuka pintu kamar. Ia melihat seorang gadis yang sedang tertidur pulas di atas tempat tidur. Gadis yang memanggilnya dengan sebutan ayah. Pria itu menarik sudut-sudut bibirnya. Putri kecilnya yang dulu sering ia gendong ke mana-mana, kini sudah besar.

Sebuah lampu di atas meja menyala terang. Menarik perhatiannya. Bukan. Bukan lampunya, melainkan sesuatu yang disinari oleh lampu itu. Sebuah bolpoin. Dan kertas. Ia menghampiri sebuah meja belajar yang ia beli delapan tahun lalu—sebagai hadiah ulang tahun putrinya yang ke-9.

Tangannya meraih kertas itu. Ia membaca rangkaian kata yang tertulis rapi di atas kertas.  Ia tahu persis itu adalah tulisan tangan putrinya. Pria itu merasakan suatu kejanggalan. Kacamata. Ia tidak mengenakan kacamata. Bagaimana ia bisa dengan mudah membaca tulisan itu?

Tidak dipedulikannya persoalan kacamata. Dilanjutkannya lagi aktivitas membaca.


Walaupun rasanya tidak mungkin, tapi izinkanlah surat ini sampai ke tangan Ayah.Izinkanlah Ayah membaca surat ini. Kumohon, Tuhan.

Ayah, aku  ingin mengucapkan terimakasih padamu. Yang, aku yakin. Sangatlah tidak cukup untuk membalas semua kebaikanmu.

Masih teringat jelas dalam ingatanku bagaimana kau mengajariku mengeja sebuah kata dan merangkai huruf menjadi sebuah kata. Tanpamu, aku tidak akan bisa menulis surat ini.

Masih teringat jelas dalam ingatanku bagaimana kau memegangi sepeda yang sedang aku kayuh. Kau menuruti pintaku, aku meminta kau tidak melepaskannya dan kau benar-benar tidak melepaskannya. Kau berlari-lari di belakangku. Tidak pernah kau mengeluh, atau pun memintaku untuk berhenti.

Ayah, apakah kau ingat, saat aku merengek meminta untuk dibelikan segelas es krim dan kau tidak segera mengabulkan permintaanku? Aku menangis sambil berteriak “Ayah jahat!” Tapi, apakah kau marah? Kau hanya tersenyum, membelai rambutku, dan menenangkanku supaya aku tidak menangis lagi. Sekarang aku sadar, bahwa kau sebenarnya tidak jahat. Kau tidak ingin aku sakit. kau ingin melindungiku dari ancaman penyakit. Dan aku, dengan tidak tahu diri menyebutmu sebagai ayah yang jahat.

Kau ingat ketika aku merengek meminta dibelikan sebuah meja belajar? Dan kau bilang kau tidak akan membelikannya. Aku mengulangi perbuatan yang sama. Aku menangis sambil berteriak “Ayah jahat”. Dan kau, lagi-lagi hanya tersenyum dan membelai rambutku.  Aku baru mengerti. Bukannya kau tak ingin membelikannya. Tapi masalah keunganlah yang membuatmu tidak melakukan itu. Tapi nyatanya, walaupun kau bilang kau tidak akan membelikannya, kau tetap membelikannya. Saat aku berumur sembilan tahun.

Ayah, masih teringat jelas dalam otakku, bagaimana aku membentakmu ketika kau memarahiku saat aku pertama kali pulang malam. Aku baru mengerti, bahwa yang kau lakukan adalah semata-mata untuk melindungiku. Menjalankan tugasmu sebagai seorang ayah. Maafkan aku ayah, lagi-lagi, aku melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan.

Ayah, kau selalu peduli padaku. Kau bahkan pernah membolos kerja demi menungguiku yang sedang sakit. Kau mengobati lukaku setiap kali aku terjatuh. Kau selalu bertanya tentang kabarku. Tapi, apakah aku pernah peduli padamu? Apakah aku pernah menawarkan diri untuk memijat badanmu yang kelelahan karena bekerja? Tidak. Apakah aku pernah bertanya tentang kabarmu? Tidak.
Ayah, maafkan aku karena aku sering mengekang aturanmu. Maafkan putri kecilmu yang tidak tahu diri ini.

Sekarang, sudah tidak ada lagi seseorang yang bisa aku panggil dengan sebutan Ayah. Kau telah pergi. Selamat tinggal Ayah, semoga kau tenang di sana.



Seorang Pria yang baru saja selesai mebaca surat itu, telah menghilang. Tubuhnya tertiup angin dan melayang menuju langit.

2 komentar:

  1. Kurang panjang ah suratnya...padahal lagi banyak ngenang. HEHE.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bingung mau nambahin apalagi :'v
      makasih sudah bacaa :)))

      Delete