Aku
merindukanmu. Sama sekali tidak kuingat, kapan terakhir kali kau menyapa dan
menyentuh tubuhku. Mungkin lima atau
bahkan enam bulan lalu? Ah, aku sudah lupa. Ingatanku sudah tidak sebagus dulu
lagi. Mungkin karena usiaku yang sudah tidak bisa disebut muda lagi.
***
Gadis
kecil yang berumur lima tahun itu memandang ke luar jendela. Sesuatu yang
ditunggunya sejak beberapa bulan lalu tidak kunjung datang. Entah sudah berapa
kali ia memanggil, memohon. Tapi tidak ada hasil. Semuanya sia-sia. Keadaan
semakin parah.
Iris
cokelatnya memerhatikan keadaan di luar rumahnya. Ia melihat sesuatu. Ia
menyebutnya monster. Monster itu jahat. Monster itu telah membunuh adik
kecilnya yang berusia dua tahun. Monster itulah yang membuatnya tidak bisa
pergi ke mana-mana. Membuatnya tidak bisa pergi ke sekolah. atau pun ke
tempat-tempat yang indah. Monster itulah yang mengurungnya di sini.
“Alena,”
panggil seorang pria. Pria yang biasa dipanggil ayah oleh Alena itu berdiri di
samping gadis kecilnya.
“Yah,
kapan monster-monster itu pergi?”
Alis
pria itu bertaut. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu kapan
sesuatu yang disebut-sebut sebagai monster oleh Alena itu pergi.
“Yah?”
Alena menarik-narik kaus biru yang dikenakan oleh ayahnya.
Pria
berkacamata itu tersenyum, “Besok, monster itu akan pergi, Alena.”
“Benarkah?”
Mata gadis kecil itu langsung berbinar. Ia tidak tahu, bahwa pria di hadapannya
ini sedang membohonginya.
Pria
itu mengangguk. Berbohong sekali lagi.
***
Kapan kau datang?
Pertanyaan
itu selalu terulang-ulang dalam pikiranku. Kau, mungkin bisa menjadi penolong
atas semua masalah ini. Tapi, kenapa kau tidak kunjung datang? Aku bahkan tidak
melihat tanda-tanda kedatanganmu.
Aku
melihat ke arah jendela. Gadis itu. lagi-lagi, ia berada di sana. Pandangan
matanya selalu sama semenjak beberapa bulan terakhir. Dan, ia juga selalu
menatap ke arah yang sama. Gadis kecil yang bernama Alena itu sama sepertiku.
Ia mengharapkanmu.
Sungguh,
aku merasa iba melihat gadis itu. Ia jadi tidak bisa bermain bersamaku lagi.
Dan, yang kutahu, gadis itu telah kehilangan adiknya. Ini semua salahmu!
Salahmu yang tidak kunjung datang. Seharusnya kau datang sekarang, atau lebih
baik, kau datang dari awal! Sebelum semuanya menjadi seperti ini.
“Ini
semua salahmu. Salahmu yang tidak kunjung datang,” bisikku pelan.
“Jangan
salahkan dia. Ini semua bukan salahnya, kau tahu?”
Ada
suara yang datang dari sebelah kananku. Ternyata, suara lirihku tadi masih
terdengar juga olehnya.
“Kenapa
kau membelanya? Bukankah kita sama? Akibat dia menunda kedatangannya, kita
harus bekerja lebih keras dari biasanya. Lama-lama aku akan mati jika seperti
ini terus.”
“Ini
bukan salahnya, kau tahu. Ini salah mereka.”
***
Gadis
itu menatap jendela lagi. Melakukan hal yang sama seperti kemarin. Sama seperti
hari-hari sebelumnya.
“Ayah?”
Gadis itu memanggil.
“Iya?”
Jawab seorang pria. Ia berjalan menghampiri gadis kecil yang baru saja
memanggilnya.
“Yah,
kata ayah kemarin, besok mereka akan pergi?
Tapi, kenapa mereka masih di sini, Yah? Kapan mereka pergi?”
Sebelum
pria itu menjawab, gadis kecil itu berkata lagi, “Yah, Alena tidak suka sama
monster-monter itu. Monster-monster itu juga kan, yang bawa....” ucapan Alena
terpotong.
***
“Mereka?
Siapa maksudmu?”
“Mereka.
Sesuatu yang berwarna merah. Yang membunuh ratusan atau bahkan jutaan dari
spesies kita. Sesuatu yang menghasilkan asap-asap berwarna abu-abu itu. Yang
kutahu, dia bernama api. Kau tahu, kita beruntung hidup di sini. Jika kita ada
di sana—kau tahu, tempat yang disebut dengan hutan, mungkin kita sudah mati.”
Aku
mendengarkan setiap kata yang diucapkan olehnya. Benar juga, ini semua bukan
salahmu. Ini semua salah api itu. Ia yang menyebabkan semua ini. Kau jangan
heran, pikiranku memang sangat mudah berubah. Tiba-tiba sebuah pertanyaan
terlintas di benakku, ”Tapi, dari mana api itu berasal?”
“Aku
juga tidak tahu.”
Ah,
jawabannya sama sekali tidak membantu. Aku terdiam. Sama sekali tidak berniat
melanjutkan pembicaraan ini.
Tiba-tiba,
aku merasakan sesuatu yang basah mendarat di atas daun-daunku. Air. Aku melihat
ke atas. Banyak sekali air. Ratusan atau mungkin jutaan air datang dari langit.
Itu kau. Kau datang. Sekali lagi kuulangi, kau datang. Benarkah? Ini bukan
mimpi?
Kulihat
ke arah jendela. Dan mendapati gadis kecil itu meloncat-loncat kegirangan.
Sebuah tawa terukir di wajahnya. Kau benar-benar datang. Harus kuakui,
kedatanganmu kali ini membawa banyak kebahagiaan. Kedatanganmu kali ini dapat
mengukir sebuah senyuman yang sudah beberapa bulan ini hilang dari wajah gadis
kecil itu. Dan aku yakin, bukan hanya gadis kecil itu yang bersuka cita.
Ternyata api dan air. Sdh penasaran aja
ReplyDeleteMonster apa. HEHE.
xD
Delete