Kau Datang Terlambat


12 Maret 2009
Tubuhku terbaring di tempat tidur. Mataku menyapu ruangan yang berukuran tiga kali empat meter ini. Hatiku terasa seperti teriris ketika melihat foto-foto kita yang menempel di dinding berwarna biru ini.
Bisakah kita kembali seperti dulu?
Pertanyaan itu selalu muncul ketika mengingat bahwa kita tidak bersama lagi. Kau telah pergi dari hidupku. Pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal. Pergi tanpa alasan.
Kenapa kau pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal? Kau pergi tanpa sepatah kata apa pun. Apa maksudmu melakukan semua itu? Apa kau tidak ingat dengan janjimu? Apa kau lupa dengan kata-katamu?
Otakku kembali mengingat peristiwa itu. Saat itu, kau memelukku dengan erat.
***
27 Oktober 2007
Air mataku mengalir semakin deras. Aku menatap batu nisan di hadapanku ini dengan putus asa. Nama “Liana Santoso” terukir jelas dalam nisan itu. Nama adikku.
Tiba-tiba saja, kau membalikkan badanku. Kau memelukku. Kau bahkan membiarkan kemejamu basah oleh air mataku. Kau mengusap-usap punggungku. Aku tahu, kau berusaha membuatku tetap tegar.
“Tak apa, Friska.” Kau melepaskan pelukanmu. “Kamu masih punya kedua orang tua, kamu masih punya banyak sahabat. Dan, kamu masih punya aku.” Kau mengangkat daguku ke atas. “Tatap aku.” Aku memandang sepasang mata berwarana cokelat. “Tersenyumlah.” Kau menarik kedua ujung bibirmu, membentuk sebuah senyuman yang biasanya menentramkan hati.  Tapi, kali ini tidak. “Seperti ini.”
Aku menunduk. Tidak lagi menatap wajahnya. Ini gila. Mana bisa aku tersenyum? Kesedihan sudah menjalar ke seluruh tubuhku. Aku bahkan lupa bagaimana cara untuk tersenyum.
Kau kembali mengangkat daguku. “Ayo, Friska! Senyum!” Sebuah senyuman terukir di wajahmu. Saat ini, aku merasa seperti anak SD yang sedang dipaksa untuk belajar membaca. Aku menggeleng.
“Friska, aku mohon. Aku nggak suka lihat kamu begini! Adikmu juga pasti nggak mau lihat kamu sedih.” Kau memperlihatkan wajah memelas. Bahkan, tatapan matamu sayu. Tak secerah biasanya.
Aku kembali menggeleng. Sungguh, untuk mengeluarkan suara saja aku tidak bisa. Apalagi untuk tersenyum?
“Ayolah, Friska. Tersenyum itu tidak sulit. Kamu hanya perlu menarik ujung bibirmu,” kau meletakkan kedua telunjukmu di ujung-ujung bibirku. Lantas, telunjukmu itu menariknya. Kau membentukkan sebuah lengkungan pada bibirku. “Nah, seperti ini.” Ucapmu setelah selesai melakukan tugas.
Aku akhirnya terpaksa tersenyum. Aduh, rasanya sakit sekali. Aku memang tersenyum. Tapi air mataku masih mengalir dengan derasnya. Aku juga tidak tahu, kapan ini bisa berhenti. Atau, tidak akan pernah berhenti?
“Friska, sampai kapan kamu akan menangis terus seperti ini? Ini sudah hari kedua sejak adikmu meninggal. Lihat,” Kau menunjukkan sebuah cermin di depan wajahku. “Matamu bahkan hampir tak terlihat.”
Aku memonitori sebuah wajah yang ada di dalam cermin itu. Apa itu aku? Kenapa aku terlihat menyedihkan sekali? Wajahku basah. Kantung mataku berwarna hitam. Bahkan, mataku terlihat lebih sipit dari biasanya. Aku terlalu banyak menangis. Bahkan, aku tidak tidur semalaman. Aku belum bisa menerima kenyataan bahwa adikku meninggal. Ini terlalu cepat. Ia bahkan masih bermain denganku sehari sebelum meninggal.
Sebuah kecelakaan merenggut nyawanya. Ia tertabrak mobil yang disetiri oleh seorang pemabuk.  Pada saat itu, dia sedang berjalan pulang dari rumah temannya. Ironis.
“Kamu harus ikhlas. Kamu mau Liana tenang kan?” Kau menyingkirkan cermin itu. Memasukkannya kembali ke dalam tas yang kau gendong.
Aku mengangguk mantap setelah ia selesai memasukkan cermin itu.
“Kalau gitu, berhentilah menangis.” Kau mengusap air mataku dengan jari jempolmu.
Hening. Di antara kami berdua, sepertinya tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Kami terdiam dengan isi pikiran masing-masing.
“Aku sudah kehilangan adikku. Apa aku juga akan kehilangan kamu?” Kalimat pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibirku.
“Tenang saja, aku akan selalu di sisimu. Hanya maut yang dapat memisahkan kita” Kau mengusap-usap kepalaku. “Aku janji.” Kau tersenyum. Lagi.
***
12 Maret 2009
Lamunanku buyar ketika mendengar suara pintu kamarku diketok. “Siapa?” tanyaku pelan.
“Ini aku,” sahut seseorang. Suaranya tak asing. Aku yakin itu suara Dinda, saudara sepupuku. Tidak, dia bukan hanya saudara sepupu. Tapi dia juga seorang sahabat yang selalu mengerti dan ia tidak keberatan untuk mendengarkan semua cerita-ceritaku.
Pintu berwarna putih itu terbuka. Seorang gadis berambut sebahu muncul. Ia membawa sebuah kantung plastik di tangan kirinya.
“Aku bawa makanan kesukaan kamu.” Dinda meletakkan kantung plastik itu di atas meja belajarku. Kemudian mengambil isi dari kantung tersebut. Sebuah kotak bekal. “Martabak!” teriaknya sambil membuka tutup kotak bekal itu. “Aku buat sendiri.”
Aku tersenyum tipis. Martabak. Lagi-lagi, aku mengingatmu. Aku mengingat bagaimana caramu memasukkan martabak ke dalam mulutku. Bagaimana kau rela hujan-hujanan demi membelikan sepotong martabak untukku.
Lagi-lagi, hatiku sakit ketika mengingat semua itu. Ngilu.
“Kamu nggak suka?” Dinda mengempaskan pantatnya di sebuah kursi yang ada di dekat meja belajar berwarna putih itu.
Aku menggeleng cepat. “Suka lah, masa aku nggak suka martabak? Sejak kapan?” Aku kemudian turun dari tempat tidurku. Berjalan menuju meja belajar yang ada di samping kanan pintu. Kemudian menyambar kotak bekal yang dibawa oleh Dinda, mengambil isinya, lalu memakannya. “Hmmm,” Aku bergumam sembari mengunyah martabak itu.
“Martabak buatanmu memang selalu enak.” ucapku setelah menelan martabak itu.
“Kamu kenapa? Mikirin Reno lagi?” tanyanya.
Reno. Nama itu. Ingin rasanya aku memusnahkan nama itu dari bumi. Hati ini seperti tertusuk-tusuk jika mengingat nama itu. Sebuah nama yang meninggalkan luka di dalam hati. Sebuah nama yang selalu berlari-lari dalam pikiranku. Sebuah nama yang dulu selalu aku sebut ketika aku butuh sesuatu.
“Dia bener-bener nggak ada kabar?” Dinda ikut memakan martabak buatannya.
“Enggak. Aneh kan? Dia datang, lalu dia membuatku nyaman selama tiga tahun. Dan sekarang? Dia pergi tiba-tiba. Aku juga nggak tahu, dia kuliah di mana.”
“Kamu udah cari dia ke rumahnya?”
“Kamu pikir, selama enam bulan ini aku diem aja?”
Dinda tidak menjawab. Ia membiarkan pertanyaan itu menguap dan hilang terbawa angin, “Apa yang akan kamu lakuin setelah ini?”
Aku menaikkan alis sebelah kanan. “Maksudmu?” Tanganku kembali mengambil martabak yang ada di kotak bekal merah jambu itu.
“Kamu akan membuka hati atau tetap menunggu?”
Pertanyaan itu membuatku tercekat. Aku hampir saja tersedak. Benar juga, aku sama sekali tidak berpikiran untuk membuka hati. Jadi, selama ini aku menunggu? Menunggu sebuah ketidakpastian? Mau sampai kapan?
“Jawab pertanyaanku, Friska.”
Aku hanya bisa mengangkat bahu. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang akan aku lakukan. Jika aku membuka hati, bagaimana jika kau tiba-tiba kembali? Jika aku menunggu, bagaimana jika kau ternyata sudah memiliki gadis lain? Pilihan yang sulit.
***
1 Februari 2015
Aku mendesah. Sudah lama sekali. Hampir tujuh tahun. Sungguh aneh, perasaan yang tumbuh selama tiga tahun, tidak hilang dalam kurun waktu tujuh tahun. Sampai kapan aku akan tetap seperti ini? Menunggu berapa tahun lagi?
Apakah kau tahu, aku di sini masih berusaha untuk menghilangkan perasaan itu. Tapi, semakin aku berusaha untuk melakukan itu, perasaan itu semakin dalam. Perasaan itu telah menempel terlalu kuat. Perasaan ini tidak bisa hilang. Pun jika hilang, pasti akan ada bekasnya. Seperti paku yang menancap pada kayu. Jika paku itu dicongkel, akan ada lubang yang tersisa.
“Hei. Bagaimana kabarmu sekarang?” tanyaku kepada sebuah foto. Foto seorang pemuda yang mengenakan jaket hitam. Ia tersenyum sambil memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Senyum itu adalah senyum yang terakhir aku lihat. Beberapa hari setelah aku mengambil gambar ini, kau menghilang. Aku bahkan tidak tahu, kau masih hidup atau sudah mati.
Semilir angin menerbangkan anak-anak rambut yang kubiarkan tergerai. Aku ada di sini. Duduk di bawah pohon mangga yang ada di belakang rumahku. Dulu, kita sering sekali mengerjakan PR bersama di sini. Hampir setiap hari.
Aku masih mengingatnya, bagaimana kau dengan serius mengajarkanku mengerjakan soal matematika. Tapi sayangnya, pada saat itu aku tidak memerhatikan. Aku hanya memperhatikan wajahmu yang semakin tampan saat sedang serius.
“Jangan perhatikan aku. Perhatikanlah apa yang aku ajarkan kepadamu,” katamu saat kau menyadari bahwa aku memperhatikanmu.
Itu semua dulu. Dulu sekali. Sudah delapan, eh mungkin sembilan tahun yang lalu. Waktu pergi begitu cepat, ya? Sementara kau, tidak pergi dari hatiku.
Mataku terpejam. Aku membayangkan seperti apa wajahmu sekarang. Kau pasti terlihat lebih tampan, kau pasti akan jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Apa di wajahmu akan tumbuh kumis? Bagaimana model rambutmu sekarang?
Aku hanya bisa membayangkan semua itu. Kau hanya sebuah bayangan. Tidak nyata.
Mataku kembali menatap foto itu. “Hei, Reno. Apa kamu masih memikirkanku?” Aku tersenyum pahit. Mungkin saja, Reno sudah lupa denganku. Ah, sudah pasti kau lupa. Waktu sudah berjalan selama sembilan tahun.
***
3 Februari 2015.
Kupandangi cincin emas yang melingkar di jari manisku. Sebuah cincin pernikahan. Kupandangi cincin itu lebih dekat. Memastikan jika ukiran itu memang ada.
Aku tersenyum ketika melihat tulisan “R & F” terukir manis dalam cincin pernikahan itu. R. Tentu saja itu adalah huruf awal dari nama panggilanmu. Sementara F, adalah huruf awal dari nama panggilanku.
***
2 Februari 2015.
Aku berdiri di sini. Bersalam-salaman dengan para tamu undangan. Aku baru saja menikah! Beberapa jam yang lalu, aku sudah resmi menjadi istri orang. Jika kalian bertanya apakah aku bahagia? Tentu saja tidak!
Bagaimana aku bisa bahagia jika menikah dengan orang yang tidak aku cintai? Aku salah dalam membuat pilihan. Salah besar! Aku menerima cintanya pada saat itu. Aku berpikir jika aku menerima cintanya, aku akan melupakanmu. Tapi ternyata tidak! Rasaku padamu masih sama seperti dulu. Tidak pernah hilang.
Tapi, lebih baik aku seperti ini. Menikahi Ray. Daripada aku harus menunggumu, Reno. Itu lebih menyakitkan.
“Selamat, Friska.” Suara itu menyadarkanku dari lamunan. Laki-laki ini, laki-laki bermata cokelat. Laki-laki yang senyumnya selalu menentramkan hati. Kau datang! Di hari pernikahanku. Kau bahkan menjabat tanganku, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kita berdua. Tunggu, apa itu di pergelangan tanganmu? Sebuah perban?
Dilihat dari raut wajahmu, kau terlihat sangat tenang. Tidak ada setitik pun kesedihan yang muncul di wajahmu yang pucat itu. Jadi, kau bahagia aku menikah dengan orang lain?
“Maafkan aku Friska, aku datang terlambat. Aku tidak tahu jika kamu akan menikah. Tapi aku bahagia,” Sebuah senyum terukir di wajah pucatmu. “Kau menemukan seseorang yang bisa menjagamu.”

Apakah kau tidak tahu, betapa sakitnya aku sekarang?

2 komentar:

  1. Kenapa harus nikah sama orang lain???????????
    OCHAAA kamu bikin aku bapeeer . : (
    Ah itu bratanya typo ya. Hehehe. Ceritanya ringan, sih. Aku menikmati emosi di cerita ini. Hehehe. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena aku nggak suka ending yang bahagia, mbak. *plak*
      makasih mbak malaa :))) iya, typo. sekarang udah dibenerin kok. hihi =))

      Delete