Aku tidak
mengerti apa yang membuat aku dan kau tiba-tiba menjadi jauh. Tidak, tidak. Ini
bukan masalah jarak. Jika dilihat dari jarak, kita berdekatan. Hanya terpaut
beberapa langkah. Bahkan jika aku ada di hadapanmu, aku masih merasa jauh. Kau
membangun benteng. Sementara aku, sama sekali tidak berniat untuk menghancurkan
bentengmu.
Sebenarnya, aku
ingin menghancurkan bentengmu. Tapi aku takut. Ketika aku sudah berhasil
menghancurkan bentengmu, kau membangun benteng yang lebih kuat lagi sehingga
aku tidak bisa menghancurkannya. Jadi, kubiarkan kau membangun benteng. Yang
ternyata, semakin lama semakin tinggi dan semakin kuat.
Seandainya aku
lebih cepat menyadari, aku bisa mencegahmu untuk membangun benteng itu. Tapi
aku sudah terlambat.
Awalnya, kau
masih mau membalas pesan yang aku kirimkan. Kau membalas dengan kalimat-kalimat
panjang yang bahkan tidak aku tanyakan. Lama kelamaan, kau hanya membalas
dengan satu atau dua kata. Lalu setelah itu, kau tidak membalas sama sekali.
Bahkan, saat
aku dan kau bertemu di persimpangan jalan, kau bersikap seolah-olah tidak
mengenaliku. Dan saat aku ingin menarik ujung-ujung bibirku, membentuk sebuah
lengkungan yang disebut senyuman, kau justru memalingkan wajah. Pura-pura tidak
melihatku. Padahal sebelumnya, aku dan kau telah beradu tatap.
Sejahat itukah
aku sampai-sampai kau melakukan hal seperti itu? Apa menurutmu menyukai
seseorang adalah sebuah tindakan kriminal? Bukankah itu adalah hak asasi di
mana setiap orang berhak atas itu? Apa salahku jika aku menyukai dirimu?
Jika kau tidak
berpikir bahwa menyukai seseorang adalah tindakan kriminal, bisakah kau
tersenyum padaku walau hanya sesaat? Kau tidak perlu repot-repot menghancurkan
bentengmu. Kau hanya perlu melubanginya sedikit—sebesar matamu. Agar kau bisa
melihatku dari celah kecil itu.
Maaf jika aku
berbelit-belit. Sebenarnya, hanya dua pertanyaan yang ingin kusampaikan; Bisakah
kita berdamai? Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?
Kau tahu,
berpura-pura tidak mengenalmu bukanlah suatu perkara yang mudah.
Pemuda itu
menutup laptopnya setelah selesai membaca kalimat terakhir dari e-mail yang baru saja ia terima. Ia
mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, menarik napas dalam-dalam, lalu
menghembuskannya keras-keras. Di dalam hatinya, ada sebongkah rasa bersalah.
Dan secuil rasa rindu. []
Pemalang, 14
Januari 2016
Kata-katanya bagus banget. Nyesek deh kalau lagi ngerasain hal kayak gitu, T_T
ReplyDeleteSebenernya ini curhatan sih :')
Delete