A Crazy Love

 “Kak? Ini emang gila. Tapi, aku suka sama kakak!” teriakku.
“Apa?” matanya terbelalak. Ia pasti tidak percaya terhadap ucapan yang aku katakan.
Sedetik kemudian, ia menarikku kedalam pelukkannya.
***
Lagi – lagi aku melihat dia bersama dengannya. Melihat dirinya dengan gadis berambut coklat itu. Melihat mereka berpegangan tangan dan bercengkrama. Memang hati ini terasa sakit. Tapi, apa boleh buat. Dibalik sakit yang aku rasa ini, ada perasaan bahagia karena melihat dia tertawa.
“Hai” sapa seseorang.
Aku mengalihkan pandanganku darinya. Menoleh ke arah seseorang yang tadi memanggilku. Bella. Dia tersenyum kearahku. Aku membalas senyumnya.
“Kamu tadi lagi ngelihatin siapa?” ia mengaduk secangkir kopi yang asapnya masih mengepul.
Aku menggeleng, “Bukan siapa – siapa, kok” jawabku berbohong. Aku tersenyum. Tersenyum untuk menutupi kebohonganku.
Mana mungkin aku memberi tahu pada Bella bahwa aku sedang melihat ke arahnya. Ia pasti akan kaget. Dan akan melempar sejuta pertanyaan kearahku. Aku tahu dia sahabatku, dan belum pernah ada rahasia yang tidak aku beri tahu padanya. Tapi, ini lain. Aku tidak ingin siapa pun mengetahui perasaanku ini.
“Jangan bohong sama aku.” Ia memasukkan sesendok kopi ke dalam mulutnya.
“Enggak, aku nggak bohong.” Jawabku. Berbohong lagi.
Huh! Namanya juga berbohong. Sekali berbohong, kita akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
“Oke, aku percaya.” Ujarnya kemudian. Ia kembali mengaduk kopinya.
Kembali, aku memperhatikan mereka. Mereka terlihat sangat bahagia. Seperti tak ada beban. Oh, seandainya saja aku berada di posisi gadis bermata coklat itu. Aku pasti akan gembira.
***
Duduk dibawah pohon saat cuaca panas memang menyenangkan. Apalagi, ditemani oleh foto dirinya. Ya, mungkin ini cuma foto. Tapi, entah mengapa hanya melihat fotonya saja aku sudah bahagia.
Dalam foto ini, dia terlihat gembira. Ia melempar senyum kearah kamera. Memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi. Bulu matanya yang lentik memayungi mata indahnya yang berwarna coklat. Hidung mancung di atas bibirnya dan alis tebalnya membuat dirinya makin menawan.
Ditambah lagi, dia menggunakan kemeja kotak – kotak berwarna merah. Itu membuat dirinya makin keren. Bukannya aku suka kemeja berwarna merah, melainkan karena aku yang memberikan kemeja itu untuknya. Iya, aku yang memberikannya. Kemeja merah itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Dari raut wajahnya saat itu, ia terlihat senang menerima hadiah dariku. Aku tahu betul, dia sangat menyukai warna merah.
“Hei, kamu lagi lihat apa?” tiba – tiba ada seseorang bertanya.
Kutolehkan kepala. Dia. Dia yang ada di dalam foto ini. Dia sudah duduk disampingku. Entah sejak kapan. Atau jangan – jangan, ia tahu bahwa aku daritadi melihat fotonya?
“Sejak kapan kakak ada disitu?” tanyaku. Aku memang memanggilnya kakak. Karena dia dua tahun lebih tua dariku.
“Barusan. Kamu tadi habis lihat apa?” ia mengulang pertanyaannya.
Dengan gesit, aku menyembunyikan foto itu dari pandangannya. Aku berniat menyembunyikannya di belakang punggungku. Aku takut ia melihat foto itu. Bukan. Bukan melihat fotonya. Tetapi, melihat tulisan melihat tulisan yang ada di balik foto itu. Di sana tertulis, “Aku mencintai orang yang ada di foto ini”. Aku takut dia membacanya. Takut aku dia akan marah.
Sebelum aku sempat menyembunyikan foto itu, dia sudah terlebih dahulu menggenggam tanganku. Direbutnya foto itu dari genggaman tanganku.
Jantungku berdebar kencang ketika ia memperhatikan foto itu. Tanganku gemetar. Otakku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam hati berharap aku, dia tidak membalik foto itu.
“Ini fotoku, kan?” tanyanya menggerakkan lembaran foto yang ada di genggamannya.
Aku mengangguk pelan.
Sedetik kemudian, ia membalik foto itu. Tidak! Dia membaca tulisan yang ada di balik foto itu. Tidak! Dia pasti akan tahu perasaanku. Tak mau aku dia mengetahuinya.
Kepala aku tundukkan. Tak berani aku melihat wajahnya.
“Apa maksud tulisan di balik foto ini?” tanyanya. Setengah berteriak.
Aku hanya menunduk. Tak menjawab. Lidahku terlalu kaku untuk menjawab pertanyaanya.
“Jawab, Viola!” Ia berteriak.
Tanpa sadar, butir – butiran air mata mengalir dari sudut mataku. Aku menangis. Entah apa yang aku tangisi. Aku juga tidak mengerti.
”Viola, jawab pertanyaan kakak!” ia berteriak lagi. Memaksaku untuk menjawab pertanyaannya.
“Aku suka sama kakak!” ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku.
“Apa kamu bilang?”
“Kak? Ini emang gila. Tapi, aku suka sama kakak!” teriakku.
“Apa?” matanya terbelalak. Ia pasti tidak percaya terhadap ucapan yang aku katakan.
Sedetik kemudian, ia menarikku kedalam pelukkannya. Aku membenamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan air mata membasahi bajunya. Pelan – pelan, ia mengelus rambutku. Sentuhan itu terasa seperti penuh dengan ketulusan. Ya, aku tahu. Kak Aldo memang tulus menyayangiku. Tapi, menyayangiku dalam arti lain.
“Kamu Nggak boleh mencintai kakak, Viola. Kamu harus lupain kakak. Kamu tahu, kan apa alasannya?”
Kulepaskan pelukan Kak Aldo,  “Iya, kak. Aku tahu. Aku nggak pantes mencintai kakak. Kakak udah punya pacar”
“Bukan cuma itu Viola. Kita ini sedarah! Satu ayah, satu ibu! Kamu nggak boleh mencintai kakak.”
Aku mengangguk.
Iya, memang. Kita ini sedarah. Itulah alasan mengapa aku tak pernah memberitahu Bella bahwa aku mencintai kak Aldo. Dan, aku tak pernah memberi tahu perasaan ini kepada Kak Aldo.
Dan, seperti umumnya saudara sekandung. Kita ini satu rumah. Itulah alasan mengapa aku mencintai kakak sendiri. Karena, kita terbiasa bertemu. Pergi bersama, makan bersama, nonton televisi bersama. Kamu tahu, kan? Cinta datang karena terbiasa.
Setelah tiga tahun memendam rasa, akhirnya Kak Aldo mengetahui juga. Dan, pada akhirnya juga, aku harus melupakan Kak Aldo. Dengan berat hati. Bagaimana cara melupakan seseorang yang selalu kita temui setiap hari?
Memang ini susah. Tapi, aku harus menjalaninya. Tak ingin aku membiarkan perasaan ini semakin dalam. []


0 komentar:

Post a Comment