Setiap
detik berlalu seperti ketukan penggaris seorang guru yang sedang mengajar
murid-muridnya membaca. Lambat dan teratur. Sangat lambat lebih tepatnya.
Terlebih lagi, untuk seseorang yang sedang menunggu.
Entah sudah berapa lama ia duduk disana. Di dalam
restoran yang ramai. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Seperti mencari
sesuatu. Melihat jam tangan yang melingkar di tangannya telah ia lakukan
berulang kali.
Sesekali
ia juga memasang earphone merah di
telinga lebarnya. Mendengarkan musik yang tak pernah ia suka. Tapi selalu ia
dengarkan. Memang hal yang aneh, tapi ia lakukan itu demi seseorang. Seseorang
yang tak pernah lelah untuk bertahan di dalam pikirannya. Ia berjanji, bahwa ia
akan mendengarkan lagu itu. Lagu kesukaan orang yang dia cinta. Walaupun, ia
sama sekali tidak menyukai lagu itu.
“Nona,
apa sudah ada makanan yang akan dipesan?” lagi-lagi, pelayan itu bertanya hal
yang sama. Mungkin sudah puluhan kali pelayan itu menanyakan hal itu.
“Belum,”
Adel menggeleng. Hanya jawaban itu yang bisa dikeluarkan oleh mulut mungilnya.
“Baiklah, permisi.” pelayan itu meninggalkannya. Sendiri. Sendiri di tempat yang ramai.
Ingin
rasanya Adel meninggalkan restoran ini. Tapi, ia takut. Bagaimana jika Bevis
datang saat ia pulang? Bevis pasti akan kecewa. Tapi jika ia tidak pergi, ia
juga takut. Bagaimana jika Bevis tidak datang? Penungguannya hanya kan menjadi
sebuah kesia-siaan. Kedua kemungkinan itu bisa saja terjadi. Dan Adel lebih
memilih menunggu. Lebih baik dirinya yang kecewa, daripada orang yang
dicintainya. Seperti itulah Adel, selalu mengalah kepada orang yang disayang.
Matanya
menyisir sekeliling. Ia merasa iri ketika melihat semua orang disekelilingnya
berpasangan. Hanya ia yang sendiri. Ia merasa kesepian. Dan saat itu, ia merasa
bahwa Bevis adalah orang yang kejam. Membiarkan dirinya merasa kesepian.
“Adel,”
seseorang meyentuh pundaknya dengan pelan.
Hati
Adel bersorak. “Itu pasti kau”
katanya dalam hati.
Dengan
pelan, Adel menolehkan kepalanya. Rambutnya yang berwarna cokelat ikut bergerak
mengikuti ayunan kepalanya.
***
“Maukah
kau menemuiku di restoran itu jam tujuh malam?” tanya Bevis dengan ragu–ragu.
“Kau
janji, kau akan datang?” bukannya menjawab, Adel malah berbalik tanya.
Sebenarnya, ia hanya takut kejadian sebelum–sebelumnya kembali terulang.
“Iya,
aku berjanji.” Bevis melengkungkan
bibirnya ke atas. Menampakkan senyum indah yang selalu membuat Adel merasa
meleleh seperti es yang dibiarkan terkena sinar matahari.
Senyum
manis itu membuat Adel percaya bahwa Bevis akan datang menepati janjinya. Ia yakin.
Bahkan ia yakin bahwa seseorang yang ada di hadapannya ini akan datang lebih
dulu darinya.
“Baiklah,
aku akan menemuimu.” gadis bermata biru itu berbalik arah. Ia pergi meninggalkan
Bevis yang sedang gembira. Karena Adel masih mau menerima ajakannya.
***
Adel
mengobrak–abrik lemarinya. Ia bingung, pakaian apa yang akan ia kenakan nanti
sore. Ia ingin tampil berbeda. Ingin melihat muka Bevis yang terpesona oleh
kecantikannya.
Adel
memang cantik. Rambutnya berwarna coklat. Bulu mata lentik dipadu dengan mata
yang biru terang. Walaupun hidungnya tidak terlalu mancung, tapi lesung pipinya
yang muncul saat ia tersenyum menutupi hal itu.
Setelah
memilih–milih pakaian, akhirnya ia menemukan pakaian yang bagus. Ia akan
mengenakan rok berwarna merah yang menjuntai hingga mata kakinya. Dipadu dengan
tanktop berwarna merah muda yang ditutupi oleh bleezer berwarna hitam. Adel menutupi
kakinya dengan flat shoes berwarna
hitam. Tak lupa, ia mengenakan jam tangan berwarna merah untuk melengkapi
penampilannya.
***
Bevis
melirik jam dinding. Jam sepuluh. Ia terlambat menemui Adel. Harusnya, ia
datang dua jam yang lalu.
Sial!
Rutuknya. Apakah Adel masih menungguku disana?
Pasti ia sudah pulang.
Bevis
mengurungkan niatnya untuk menemui gadis yang dicintainya itu. Ia yakin, Adel
pasti sudah pulang. Gagal sudah rencana untuk menyatakan perasaan pada Adel.
Rencana yang telah disusun selama dua minggu gagal. Hanya gara-gara ketiduran.
Pikirannya
berubah. Bagaimana kalau Adel masih
menungguku?
Entah
kepercayaan darimana, Bevis merasa bahwa Adel masih menunggunya. Dan ia memutuskan untuk pergi menemui gadis yang
dicintainya.
***
“Bevis,
aku yakin kau pasti datang!” serunya ketika melihat Bevis sudah ada di
belakangnya.
“Maaf,
Adel. Aku terlambat.” Bevis memperlihatkan wajah menyesal.
Adel
tersenyum, “Tak apa. Yang penting, sekarang kau sudah ada di hadapanku.”
Bevis
tersenyum, “Ini untukmu.” katanya menyerahkan sekuntum bunga mawar berwarna
putih.
Jantung
Adel berdegup kencang. Meronta–ronta ingin keluar dari tempatnya. Ia tak bisa
bergerak. Tubuhnya terlalu kaku. Bahkan, tangannya tak sanggup menerima bunga
pemberian Bevis.
Bevis
tertegun, ia tak percaya. Gadis berambut cokelat ini tidak menerima bunga
pemberiannya. “Kau tidak menyukainya?”
“Em,
tentu saja aku menyukainya.” Adel akhirnya bisa menggerakan tangan untuk
menerima bunga itu.
“Maukah
kau menjadi pacarku?”
Dengan
perasaan yang sudah tidak karuan lagi, Adel mengangguk. Menandakan bahwa ia mau
menerima Bevis. Dan, mawar putih itu melambangkan cinta Bevis pada Adel. []
Catatan: Cerpen
ini diikutkan dalam tantangan menulis #KalimatPertama @KampusFiksi.
#KalimatPertama
diambil dari buku Unlucky Loser karya Shinta Indrasari dan Erry Santy
0 komentar:
Post a Comment