Elena. Gadis itu sedang duduk di taman.
Kepalanya mengangguk–angguk menikmati alunan musik dangdut yang ia dengarkan melalui earphone.
Iya, Elena memang penggemar musik
dangdut. Ketika orang lain menyukai aliran musik pop, rock, atau jazz, Elena justru menyukai musik dangdut. Mungkin, ini disebabkan oleh
ayahnya yang juga penggemar musik asli Indonesia yang satu ini.
Setelah alunan musik berhenti, Elena
melepas earphone ungunya. Tapi, ia merasa telinganya masih bisa mendengar
alunan musik itu. Kemudian, ia mengecek telepon genggamnya. Memastikan bahwa
lagunya memang benar–benar sudah mati. Benar, lagunya sudah mati. Elena bingung. Ia memukul
telinganya pelan. Ia merasa bahwa telinganya sudah tidak berfungsi dengan
semestinya.
Suara itu masih ada. Mata coklat gelapnya
menyisir sekeliling. Mencari–cari apakah ada orang lain selain dia yang berada di taman itu. Ada.
Seorang remaja laki-laki yang seumur dengan Elena. Terlihat kacamata hitam menggantung di
hidungnya yang mancung. Di bawah hidung, bibirnya menyunggingkan senyum pada
Elena. Dengan ragu, dibalasnya senyum itu.
Suara musik dangdut itu makin keras ketika
seseorang yang ada di ujung sana, yang
tadi melemparkan sebuah senyuman mendekati Elena.
“Boleh aku duduk di sampingmu?” Ia
bertanya. Ujung dagunya menunjuk ke kursi taman yang ditempati Elena.
Elena kemudian menggeser pantatnya, tanda
mempersilakan seseorang itu duduk di sampingnya.
Sebenarnya, Elena agak ngeri terhadap
seseorang yang di sampingnya ini. Penampilannya agak aneh. Ia mengenakan celana
jeans yang sudah sobek di sana–sini dipadu dengan kaos berwarna hitam yang
bergambar vampir. Kaosnya sungguh kontras dengan warna kulitya yang kuning
langsat. Tapi, mukanya tidak terlihat mengerikan.
“Hei. Apa aku mengganggumu dengan musik
ini?” tanyanya. Ia menunjukan musik box berwarna hitam yang mengeluarkan suara
musik dangdut.
Elena menggeleng dengan cepat, “Nggak. Aku
suka, kok.”
Dahi remaja itu berkerut. Ia merasa heran.
Tak menyangka kalau Elena menyukai musik dangdut. Musik yang jarang disukai oleh remaja masa kini.
“Oh iya, nama kamu siapa?” Remaja itu
mematikan musik boxnya agar
tidak mengganggu pembicaraannya dengan Elena. Ia mengulurkan tangannya.
“Aku Elena. Kamu?” Elena menyalami
tangannya. Lembut. Tidak seperti yang ia bayangkan.
“Aku Daniel.” jawabnya. Ia menyunggingkan
senyum. Senyum yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini lebih indah, dengan
memamerkan giginya yang berderet rapi.
Hati Elena terasa meleleh saat melihat
senyum kedua Daniel. Senyumnya sungguh indah. Berbeda dengan pakaian yang ia
kenakan.
“Apa kamu suka musik dangdut?” tanya Elena.
Ia menatap wajah Daniel lekat–lekat.
Daniel mengangguk cepat. Ia membenarkan
kacamata hitam yang agak sedikit merosot dari hidung.
Daniel berdeham, “Hari udah sore.” ucap
Daniel menunjuk ke arah matahari yang telah menjorok ke barat. “Aku mau pulang
dulu.” pamit Daniel. Sebelum meninggalkan gadis berambut panjang itu, Daniel
tersenyum lagi padanya. Untuk yang kedua kali, Elena meleleh melihat senyum
Daniel.
Kali ini, ia bukan hanya meleleh. Tapi, ia
jatuh cinta pada pandangan pertama. Ya, Elena memang selalu begitu. Menurutnya,
jatuh cinta pada pandangan pertama itu indah.
Sebenarnya, bukan senyumnya saja yang Elena
suka dari Daniel. Menurutnya, Daniel itu unik. Ya, itu karena Daniel menyukai
musik dangdut. Sama seperti dirinya.
***
Seminggu telah berlalu sejak pertemuan
Elena dengan Daniel berlangsung. Kali ini, Elena sedang berada di taman lagi.
Berharap pertemuan indah itu akan terulang kembali.
Earphone
ungu sudah melekat pada telinga Elena. Seperti biasa, ia sedang
mendengarkan musik favoritnya. Musik dangdut.
“Begadang jangan begadang, kalau tiada
artinyaaaa” Elena bersenandung. Terlalu keras. Membuat orang–orang di sekelilingnya memperhatikan
dirinya.
Karena ia merasa diperhatikan, senandungnya
berhenti. Membuat seseorang di belakangnya merasa kecewa.
“Kenapa kamu berhenti?” seseorang yang ada
di belakang Elena bertanya. “Suaramu lumayan.” Pujinya kemudian.
Elena menoleh. Ia memandang seseorang yang
ada di belakangnya. Bibir orang itu menyunggingkan senyum. Senyum yang dikenali
oleh Elena.
Itu senyum Daniel. Tapi, mana mungkin orang
ini Daniel? Pikirnya.
Elena melihat penampilan remaja yang berada
di hadapannya. Ia terlihat begitu rapi. Mengenakan kaos berwarna putih yang
dibalut dengan kemeja kotak–kotak berwarna ungu. Celana jeansnya juga
sempurna. Tidak sobek–sobek seperti milik Daniel. Kulitnya memang mirip
seperti Daniel, kuning langsat. Dan yang paling berbeda adalah remaja yang ada
di hadapannya ini tidak mengenakan kacamata hitam.
Elena menatap lekat–lekat wajah orang
itu. Matanya, sungguh indah. Berwarna biru terang. Tidak seperti orang
Indonesia pada umumnya. Bulu matanya yang lentik menambah keindahan wajahnya.
Dia sungguh keren. Elena terpesona. Ia memandang si mata biru itu tanpa
berkedip.
Jika si mata biru tidak mengibasakan
tangannya di depan muka Elena, mata coklat gelap Elena pasti tidak akan pernah
berhenti menatapnya.
“Kamu nggak papa?” tanya si mata biru. Ia
terheran–heran melihat tingkah Elena yang aneh.
Elena menggeleng, “Aku nggak apa–apa.”
jawabnya. Ia menyelipkan rambut yang menutupi muka di balik telinga kecilnya.
Si mata biru yang semula ada di
belakangnya, kini sudah bersila manis di sebelahnya. Kali ini, giliran si mata
biru yang memperhatikan Elena. Gadis itu segera memalingkan wajah saat sadar
bahwa ia diperhatikan. Ia tak mau muka merah meronanya terlihat oleh si mata
biru.
“Oh iya, kenapa kamu nggak nyetel musik
dangdut? Kamu suka itu, kan?” tanya si mata biru.
Alis Elena saling bertaut. “Bagaimana kamu
tahu aku suka?” Elena memandang si mata biru dengan heran.
“Bagaimana? Bukannya kamu tadi menyanyikan
lagu dangdut? dari situlah aku tahu.” ujarnya menjelaskan.
Mata Elena dengan si mata biru itu bertemu.
Dan itu, menimbulkan sensasi aneh di dalam tubuh Elena. Tepatnya di jantung. Ia
merasakan bahwa jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya. Dan jantung
Elena kembali normal ketika matanya memandang ke musik box berwarna hitam yang
dibawa si mata biru. Lagi–lagi ia melihat kemiripan orang itu dengan Daniel.
Tapi, bukannya yang memiliki musik box
berwarna hitam itu banyak? Pikir Elena.
Ia berusaha mencegah pemikirannya yang
mengatakan bahwa si mata biru ini mirip dengan Daniel. Matanya jelas lebih
indah jika dibandingkan dengan Daniel. Tunggu, bukannya ia saat itu tidak
melihat mata Daniel. Saat itu, Daniel mengenakan kacamata hitam.
“Apa kita pernah ketemu sebelum ini?”
pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut mungil Elena.
Lagi–lagi, mata mereka bertemu. Dan,
Elena jatuh cinta. Jatuh cinta karena melihat mata indah si mata biru.
Begitulah Elena. Selalu jatuh cinta saat melihat tampilan fisik.
Hei, ada apa dengan hatiku? Bisa–bisanya
aku jatuh cinta dua kali dalam waktu satu minggu? Dengan orang yang berbeda.
Yang lebih mengherankan lagi adalah, aku bertemu mereka karena musik
dangdut.Ini aneh.
Si mata biru terkekeh saat mendengar
pertanyaan dari Elena, “Kamu lupa sama aku? Jelaslah, kita pernah ketemu.”
Elena tertegun. “Ketemu? Kapan?” tanyanya.
“Kamu beneran lupa?” tanya si mata biru.
Elena mengangguk pelan. “Apa kamu Daniel?”
tanyanya ragu.
“Iya.” angguk Daniel.
Dan jawaban itu melegakan Elena. Karena, ia
hanya jatuh cinta pada satu orang. []
0 komentar:
Post a Comment