***
Titik air hujan terjun bebas dari langit. Mendarat tepat diatas payung pelangi yang sedang aku bawa. Suara ketukan air hujan makin mengeras. Tapi, itu tidak menurunkan niatku untuk masih tetap berdiri di depan gerbang sekolah ini. Aku menunggu dia. Dia yang selama ini memenuhi ruang hatiku.
Tekadku kini sudah bulat. Aku akan menyatakanperasaanku padanya. Iya, ini memang hal yang gila. Seorang perempuan menyatakan cintanya kepada pujaan hatinya. Tapi, jika perasaan ini terus dipendam, aku akan menjadi lebih sakit lagi.
Mataku menyisir sekeliling. Mencari dia diantara orang orang yang menerobos hujan. Berharap dia muncul. Tapi, sosoknya belum muncul juga.
Karena dia tidak muncul juga, aku akhirnya memutuskan untuk mencarinya di dalam sekolah. Mencari kelasnya.
Setelah masuk ke teras sekolah, aku meletakkan payung. Aku mulai melangkah mencari kelasnya. Setiap aku melangkah, aku merasa jantungku makin berdebar kencang.
Ketika sampai di depan kelasnya, langkahku terhenti. Aku melihat dia sedang bersama Rayya, ketua OSIS di sekolah ini.
Aku menatap matanya dari jauh. Tatapan matanya lain saat gmenatap Rayya. Bibir tipis yang ada dibawah hidung mancung itu tersenyum. Senyum itu, senyum yang baru kali ini kulihat. Senyum terindah yang pernah aku lihat. Seandainya saja, senyum itu untukku. Aku iri pada Rayya.
Tangan berkulit sawo matangnya memegang tangan putih Rayya. Matanya menatap Rayya lekat - lekat. Apa, ia akan menembak Rayya? aku langsung menggelengkan kepala kuat - kuat. Nggak mungkin.
"Rayya, maukah kau menjadi pacarku?" Tanyanya.
DEG! jantungku seperti berhenti berdetak. Hatiku remuk seketika. Dadaku terasa sesak. Air mata juga sudah mulai mengalir.
Aku tak menyangka bahwa selama ini dia mencintai Rayya. Kenapa aku tidak tahu? Padahal, selama ini aku slelalu mengamatinya. Tapi, mengapa aku tidak tahu? Seandainya saja aku tahu, aku pasti akan move on dari dia.
Sekarang, aku berharap Rayya menggeleng. Tapi, itu hanya sebuah harapan kosong. Rayya mengangguk pelan. Melihat itu, air mataku semakin mengalir deras.
Aku sakit hati. Iya,sakit hati. Dan aku harus menerimanya. Ini adalah resiko jatuh cinta. Benar, kan? Jika kita siap jatuh cinta harusnya kita juga harus siap sakit hati? Tragis sekali, aku merasa berduka ketika orang yang kucintai bahagia.
Sebaiknya, aku pergi dari sini saja sebelum hatiku makin hancur. Aku pergi. Aku tidak jadi menyatakan perasaanku padanya. Entah mengapa, tekad yang tadi sudah bulat dan keberanian yang besar tertimbun oleh rasa sakit.
Aku pulang membawa tangisan. Ya, hanya menangis yang bisa aku lakukan. Memang apa lagi? Merebut dia dari pelukan Rayya? Bukankah, orang yang cintanya bertepuk sebelah tanga itu harus mengalah? Ya, walau itu sakit. Itu yang harus aku lakukan saat ini.
Ini tidak seperti yang aku harapkan. Mungkin dia tidak akan pernah tahu perasaanku padanya. Karena sampai saat ini dia belum tidak mengetahui perasaanku padanya.
0 komentar:
Post a Comment