Potongan-Potongan yang Tidak akan Pernah Utuh.



Kapan kau datang? Kenapa kau tidak pernah datang dan menepati janjimu? Tidak bisakah kau datang, meski hanya sekadar untuk memberi salam?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja berputar-putar dalam pikiran Alva. Pertanyaan yang sama, sejak lima tahun lalu. Entah bagaimanapun Alva mencoba, ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Ia juga sudah memaksa otaknya untuk melupakan. Tapi percuma, semua pertanyaan itu tetap melekat. Seperti sebuah benalu yang menempel pada inangnya. Sungguh mengganggu.

***

Lelaki itu memotret sebuah akuarium besar yang di dalamnya terdapat beberapa ikan hiu. Tentu saja, lelaki yang bernama Alva tidak akan membuang waktunya hanya untuk melakukan hal-hal yang tidak penting seperti memotret akuarium. Yah, jika tidak karena sebuah luka yang harus diobati, ia tidak mungkin datang ke sini.

Luka yang dialaminya bukan luka fisik yang bisa dilihat orang lain. Luka ini tidak bisa dilihat oleh siapa pun, bahkan oleh si empunya luka. Luka ini tidak dapat terdeteksi meskipun dengan alat canggih. Luka ini tak terbentuk, tapi sangat terasa.

Luka yang disebabkan oleh rasa rindu terhadap seseorang. Luka yang tidak mungkin bisa disembuhkan meski ia telah berobat berulang kali. Luka ini hanya bisa sembuh, ketika Alva berhasil bertemu dengan seseorang itu. Sayangnya, ia tidak bisa. Ia hanya bisa pergi ke tempat-tempat yang penuh kenangan. Mengumpulkan potongan-potongan masa lalu yang dia tahu, bahwa potongan-potongan itu tidak akan pernah lengkap. Sekeras apa pun dia berusaha mengumpulkan.

Lelaki yang saat ini mengenakan kaus berwarna abu-abu itu memandangi hasil potretannya.

***

“Kenapa kamu ngajak ke sini?” Alva memandang gadis yang sedang asyik melikah-lihat ikan.

“Di sini banyak ikan.” Jawab gadis itu tanpa menoleh pada sang penanya.

“Cuma karena itu?”

Gadis itu menggeleng, “Aku belum pernah ke sini sebelumnya.” Gadis itu memberi jeda, “Aku pingin kamu jadi orang pertama yang nemenin aku ke sini,”  ucapnya lirih. Tak terdengar jelas oleh Alva.

“Apa?”

“Eh, Alva! Kita foto di sini, yuk!” Gadis yang biasa dipanggil Zaphire itu langsung berdiri di depan akuarium besar yang di dalamnya terdapat beberapa ikan hiu.

Alva mundur beberapa langkah, ia medekatkan kamera yang menggantung di lehernya itu ke mata. Bersiap untuk memotret Zaphire.

“Alva! Kita yang difoto. Bukan cuma aku.” Zaphire langsung menghampiri lelaki itu. Ditariknya sebuah tangan yang jauh lebih besar darinya. Kemudian, ia memposisikan Alva di salah satu sisi di depan akuarium. Matanya memandangi satu persatu pengunjung yang ada di sana. Entah apa maksudnya, Alva tidak paham.

“Mbak, tolong fotoin kita, dong!” ucap Zaphire ketika ada seorang perempuan yang lewat di depan mereka berdua. Zaphire mengambil kamera yang sejak tadi menggantung di leher Alva, menyerahkannya pada perempuan yang tadi diajaknya bicara.

“Zaph!” Alva kini menatap tajam ke arah Zaphire. Menandakan bahwa ia tidak ingin dipotret. Melihat tatapan tajam Alva, Zaphire nyengir.

“Lihat kamera, Al. Jangan lihat aku.”

Alva memutar bola mata. Ia memandang kamera.

“Satu, dua, tiga.”

Cklik.

Setelah mengucapkan terimakasih kepada perempuan yang baru saja membantu, Zaphire melihat hasil foto. Di sana, terlihat seorang gadis yang rambutnya diikat ke belakang, ia memamerkan gigi-giginya yang rapi, salah satu tangannya membentuk huruf V. Sementara lelaki di sebelahnya, memunculkan wajah tanpa ekspresi. Ah, ia memang selalu begitu jika dipotret.

“Harusnya tadi kamu senyum,” ucap Zaphire ketika melihat foto yang baru saja dilakukan oleh mereka.

Lelaki yang saat itu mengenakan kaus berwarna abu-abu itu berdecak. Bola matanya berputar. Menurutnya, berfoto adalah sesuatu hal yang menyebalkan dan sangat sangat sangat tidak penting. Yah, itu adalah pikirannya saat itu. Jika saja dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dia akan berfoto dengan Zaphire sebanyak-banyaknya.

***

“Alva!” seseorang memanggilnya. Membuat ia kehilangan kenangan-kenangan yang baru saja bermunculan di otaknya. “Ngapain lo masih di sini?” Lelaki yang tadi memanggil kini sudah ada di hadapannya. “Lo udah ditungguin.”

Alva melihat jam tangan cokelat yang melingkar di pergelangan tangan. Astaga! Ternyata sudah sesore ini. Ia lupa bahwa ia ada janji bertemu dengan teman-temannya.

Sorry, Do. Gue lupa. Serius.”

“Keasyikkan berburu masa lalu sih, lo!”

Berburu masa lalu?

***

Entah ini sudah hari Minggu yang ke berapa. Sejak lima tahun terakhir, Alva selalu membuang hari Minggunya di sebuah kafe. Kafe yang sama. Jika bukan karena Zaphire, tentu saja dia bisa menggunakan waktunya untuk hal yang lebih berguna. Tapi asal tahu saja, sebanyak apa pun waktu yang terbuang, Alva tidak pernah menyesal. Ia yakin, bahwa suatu saat, usahanya untuk menunggu tidak sia-sia.

“Kak Alva?”

Alva yang sedang memandangi secangkir kopi yang sudah habis setengah itu menoleh ke asal suara. Seorang gadis yang lebih muda darinya datang menghampiri. Gadis itu langsung duduk di hadapannya.

Siapa?

Lelaki itu memandangi wajah gadis itu lekat-lekat. Berusaha untuk mengenali. Wajah itu. Alva yakin ia pernah memandang wajah itu di suatu tempat. Ia sangat yakin, ini bukan kali pertamanya ia bertemu dengan gadis ini.

Di mana?

“Kak Alva, kan?”

Kenapa dia bisa mengenaliku?

Alva mengangguk.

Gadis itu menunduk, “Maaf, Kak.”

“Maaf?” Alva menautkan kedua alisnya, “Kamu yakin nggak salah orang?”

Gadis itu menggeleng, “Ini soal Kak Zaphire.”

Jantung Alva hampir saja meloncat dari tempatnya ketika mendengar nama Zaphire disebut. Ratusan pertanyaan langsung bermunculan di dalam kepalanya. Separuh jiwanya ingin semua pertanyaan itu terjawab. Tapi, separuh jiwa sisanya, tidak ingin tahu tentang jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Jika saja gadis di hadapannya ini tidak mengucapkan kata maaf di awal, maka seluruh jiwanya ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan yang sudah bersarang di kepalanya selama lima tahun terakhir.

“Kak Zaphire minta maaf. Dia nggak bisa menepati janjinya buat ketemu Kak Alva. Jadi, Kak Alva nggak perlu repot-repot buat dateng ke sini lagi.”

“Kenapa?”

***


“Zaphire,” Lelaki yang saat ini mengenakan kaus abu-abu itu memegang sebuah nisan. Air matanya mengalir. Entah sejak kapan.

0 komentar:

Post a Comment