Wynstelle



Hidup memang tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan.

***

Seperti halnya pagi ini. Sebuah keajaiban terjadi pagi ini. Seorang gadis bergerak. Dia bahkan melompat-lompat sembari menyanyikan sebuah lagu yang tidak Damian mengerti. Selain liriknya yang terlalu cepat, suara gadis yang terlalu lirih itu membuatnya tidak bisa mendengar dengan jelas. Tunggu, itu bukan poin pentingnya. Poin pentingnya adalah—

gadis itu bergerak.

Perlu digaris bawahi. Gadis itu bergerak. Mungkin jika gadis itu bergerak saat Damian sedang tidak melakukan ilmu saktinya—menghentikan waktu—itu adalah hal biasa. Tapi, ini aneh. Lihatlah, bahkan salju yang hendak jatuh pun melayang. Mobil yang seharusnya jalan justru berhenti.

Seharusnya, hanya ia yang dapat bergerak. Tapi—

mengapa?

Ini adalah pertama kalinya. Biasanya, kemampuannya itu ampuh pada siapa pun—yang ada di bumi tentunya. Damian yakin betul, bahwa ia masih berada di bumi pagi ini. Dan, yah, tidak ada yang bergerak lagi selain gadis itu.

Baiklah, mungkin sebaiknya Damian turun ke bawah sana—dia sejak tadi hanya berdiri di belakang jendela flatnya omong-omong—dan bertanya kepada gadis itu.

“Hei,” panggil Damian ketika ia sudah sampai di bawah. Gadis yang dipanggil tidak merespon. Ia masih tetap menyanyikan lagu yang berirama cepat.

“Hei,” panggil Damian lagi. Tapi ia telah melakukan sebuah hal yang sangat sia-sia. Gadis itu masih tidak merespons. Ia sibuk dengan earphone yang menyumpal kupingnya.

Bodoh. Seharusnya Damian menyentuhnya. Karena indra peraba gadis itu lebih berfungsi ketimbang indra pendengarnya.

Sepertinya Damian harus melakukan ini. Ia harus menahan rasa jijiknya untuk menyentuh manusia bumi. Terlebih lagi, ia lupa mengenakan sarung tangan yang biasanya ia pakai ketika ia harus beraktifitas dengan manusia bumi.

Rasa penasarannya sudah mencapai ubun-ubun. Bisa-bisa, ia akan kesakitan jika rasa penasaran itu semakin tinggi dan semakin tinggi.

Yah, Damian memang makhluk yang aneh. Ia akan kesakitan jika rasa penasarannya tidak melebihi batas normal. Selain itu, ia juga sangat sangat tidak suka menyentuh makhluk bumi. Menurutnya, makhluk bumi sangatlah menjijikkan. Aneh sekali.

Padahal, dilihat dari fisiknya, tidak ada yang berbeda antara Damian dengan makhluk bumi—manusia.

Damian menyentuh pundak gadis itu. Yang disentuh menoleh. Gadis itu menarik ujung-ujung bibirnya dan memberikan sebuah senyuman.

Tapi bukan senyuman itu yang menjadi fokus Damian. Mata. Mata gadis itu sama persis dengan miliknya—sama-sama berwarna hijau. Kau tahu, menurut survei yang ia baca di internet, hanya dua persen manusia yang memiliki warna mata berwarna hijau.

Dan seratus persen makhluk di planet Damian memiliki iris berwarna hijau.

Jangan-jangan, gadis ini juga makhluk yang sama sepertinya? Jangan-jangan, gadis ini dari Wynstelle land?

Tidak, tidak, tidak mungkin. Satu-satunya makhluk Wynstelle yang mengetahui jalan menuju bumi hanyalah dirinya. Lagipula, gadis ini tidak menunjukan sinyal atau tanda apapun yang mengarah pada makhluk Wynstelle—mata yang menyala saat berhadapan dengan sesama makhluk Wynstelle misalnya.

“Kenapa kau bergerak?”

Gadis itu menatap Damian dengan heran, “Maksudmu?”

“Yah, lihatlah sekelilingmu.”

Gadis itu menyusuri tiap sudut kota. Dan menemukan suatu kejanggalan. Semuanya berhenti. Hanya dia dan lelaki di hadapannya itu saja yang bergerak. Meskipun dia amat sangat heran, tapi gadis itu berusaha untuk bersikap sewajar mungkin. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Bisa saja kan, lelaki di hadapannya ini tiba-tiba saja membunuhnya? Maksudnya, lelaki ini aneh. Dia satu-satunya yang bergerak di sini. Dan, gadis itu tiba-tiba merasa bahwa dia juga makhluk yang aneh. Jangan-jangan selama ini fantasi liarnya itu benar?

“Jadi apa masalahmu?”

Damian mengangkat sebelah alisnya. Sebelum ia sempat berucap, gadis di hadapannya sudah lebih dahulu berucap.

“Namaku Ione, omong-omong. Jadi kau yang membuat mereka semua berhenti?”

Damian mengangguk.

Walau tidak percaya, Ione mengangguk-anggukan kepalanya.”Baiklah, bisakah kau kembalikan semuanya seperti semula? Asal kau tahu saja. Ponselku tidak bisa bergerak. Dan aku tidak bisa mendengarkan musik.”

“Jika musikmu tidak berbunyi, kenapa kau tidak menoleh ketika aku memanggil?”

“Yah, kukira kau tidak memanggilku. ‘Hei’ itu kan bukan namaku.”

“Baiklah, lupakan saja. Sekarang kau harus jawab pertanyaanku. Kenapa kau bergerak?”
Ione mengangkat bahu. “Entahlah. Mungkin karena kita satu spesies.” Jawabnya asal.

Ha. Spesies apa. Manusia? Sejak kapan manusia bisa menghentikan waktu? Tunggu, kalau dia bukan manusia? Lalu dia ini apa? Alien?

Hanya berpikir bahwa dia adalah alien berhasil membuatnya merinding—sekaligus senang. Bayangkan saja, bagaimana perasaanmu jika kau ternyata bukan seorang manusia?

Jika ini bukan dialami oleh seseorang yang bernama Ione, mungkin seseorang itu akan pingsan atau histeris atau apa pun itu. Yang pasti, tidak bersikap sewajar Ione. Asal tahu saja, gadis bermata hijau itu sudah terlalu sering membaca kisah-kisah fantasi dan berharap menjadi tokoh utamanya. Dan sekarang, harapannya terwujud!

“Maksudmu, kau bukan berasal dari bumi?” lelaki itu mengeluarkan suara.
Ione mengangkat bahu. “Aku tidak ingat masa-masa bayiku. Tapi, peristiwa terlampau  yang kuingat, aku sudah berada di bumi. Bermain seluncuran bersama kedua orang tuaku.”

Damian bingung. Ia benar-benar heran. Sungguh, baru kali ini ia menemukan orang yang se’menarik’ Ione.

“Namamu siapa?” tanya Ione tiba-tiba.

“Damian.”

“Damian, bisakah kau hentikan keilmuanmu? Maksudku, berhentilah menghentikan waktu.”

Damian mengangguk. Matanya terpejam. Bibirnya mengucapkan suatu kata-kata yang tidak Ione mengerti. Dan sedetik kemudian, semua berjalan normal kembali. Salju yang semula melayang kini telah menyentuh tanah. Dan musik dari ponsel Ione mulai berbunyi.

“Kau berasal darimana omong-omong?”

Wynstelle land.”

Wynstelle land? Ione sepertinya pernah mendengar dua kata itu. Ah, sebaiknya Ione segera pulang karena sebentar lagi sarapan matang. “Oke, sampai jumpa nanti!” Ione pergi meninggalkan Damian yang masih kebingungan. Terlebih lagi, dengan bodohnya ia menyebutkan darimana ia berasal. Bodoh. Bagaimana jika gadis itu memberikan informasi tadi pada orang lain? Seharusnya, identitasnya tidak boleh bocor pada siapa pun.

Dalam hitungan detik, Damian sudah berlari mengejar gadis tadi. Tapi percuma saja, jalanan terlalu ramai. Dan gadis itu entah berjalan ke arah mana.

“Sial!”
***

Justru ketika kau berharap, sesuatu yang kau harapkan tidak terjadi.

***

Sudah jam sebelas. Dan gadis itu tidak kunjung lewat. Damian sudah hampir lumutan berdiri di depan jendela. Dan sudah berkali-kali ia menghentikan waktu, berharap agar lebih mudah menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Sampai-sampai energinya habis. Dan ia tidak mungkin melakukan kesaktiannya lagi sampai besok.


Damian sebenarnya ingin mencari gadis itu. Tapi informasi yang dimiliki mengenai gadis itu sangatlah sedikit. Hanya satu sih, lebih tepatnya. Ione. Damian hanya tahu namanya. Seharusnya, Damian meminta nomor ponsel. Atau mungkin id line. Atau akun media sosial lain yang bisa membuatnya menghubungi Ione.

END




nb: akhirnya setelah sekian lama nggak 'nyerpen'/? ini aku nyoba bikin fantasy tapi sepertinya gagal total huhu. ;-;

0 komentar:

Post a Comment