Delapan yang Berulang


Entah apa jadinya jika gadis itu tidak datang ke stasiun kala itu. Entah apa jadinya jika ia tidak pergi ke Kediri malam itu—8 Mei 2012. Entah apa jadinya jika ia tidak duduk di sebelah lelaki yang saat itu mengenakan kaos berwarna ungu. Lelaki yang terus saja mengajak bicara meski gadis yang diajaknya bicara hanya asyik bermain ponsel.

Merasa telinganya panas karena mendengar pertanyaan yang sama berulang-ulang, gadis itu menoleh sesaat, “Bisa diem nggak, sih?” Satu pertanyaan. Yang bisa membuat pemuda itu berhenti bicara—setidaknya, itulah yang ada di pikiran sang gadis.

“Nggak. Aku nggak bisa diem sebelum kamu jawab pertanyaanku.”

Gadis itu memutar bola matanya, berdecak, “Tiara.”

“Namamu bagus juga. Mau ke mana?”

Gadis itu memutar bola mata. Ia berani bertaruh, bahwa lelaki di hadapannya ini adalah seorang lelaki yang biasa memainkan hati wanita. Lihat saja perilakunya. Baru saja kenal langsung bertanya aneh-aneh.

Bukannya menjawab, gadis yang bernama Tiara itu sibuk dengan ponselnya. Tapi itu satu detik yang lalu. Sekarang, ponselnya sudah berada di tangan lelaki yang sejak tadi mengganggunya.

“Kamu ngapain sih?” Tiara berteriak. Membuat orang-orang di sekitarnya menoleh. Tapi ia tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana cara dia mengambil ponselnya kembali.

Tiara mencoba meraih ponsel yang berada di tangan lelaki itu. Tapi percuma. Lelaki itu mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. Membuat Tiara tidak mampu menjangkaunya. “Kembaliin nggak?”

“Nggak. Jawab pertanyaanku dulu.”

Tiara berdecak, “Aku mau ke Kediri. Puas?”

“Wah! Kayaknya kita satu kereta, nih!” Lelaki itu mengembalikan ponsel Tiara.

***

Sungguh, hari ini adalah hari tersial yang pernah dimiliki oleh Tiara. Pertama, ia harus diganggu oleh lelaki yang entah siapa namanya. Dan sekarang, lelaki yang entah siapa namanya itu berada di hadapannya. Mereka satu gerbong. Bahkan duduk bersebelahan.  Sungguh kebetulan yang ajaib.

“Tiara, kamu belum tahu namaku, kan?”

Baru kali ini Tiara bertemu makhluk aneh seperti dia. Baru kenal sudah merebut ponsel. Bahkan ia memaksa agar pertanyaannya dijawab. Lalu sekarang apa?

“Dirga.”

Tiara tidak peduli. Mau namanya Dirga, atau Kevin, atau Rangga, itu bukan urusannya. Lebih baik ia menyumpal telinganya dengan earphone. Daripada harus mendengar ocehan lelaki di sampingnya. Terlebih lagi, di hadapannya ada seorang ibu-ibu yang membawa bayi dan anak kecil. Dan si bayi tak henti-hentinya menangis.

***

8 Mei 2016

Semua terjadi begitu saja. Tiara tidak pernah menyangka ini akan terjadi. Sungguh. Ia tidak menyangka, anggukannya saat itu akan berubah menjadi bencana. Lagipula, siapa yang akan tahu jika akan seperti ini akhirnya?

***

8 Mei 2013

Lelaki di hadapan Tiara kali ini sungguh berbeda. Yah, meskipun dia adalah orang yang sama seperti setahun yang lalu, tapi ada suatu perbedaan besar. Bukan wajahnya, bukan juga bentuk tubuhnya, pun bukan juga sifatnya. Semua masih sama. Hanya satu yang berubah. Satu perubahan yang membuat semuanya menjadi berbeda. Perasaan.

Dulu, Tiara memandang lelaki ini sebagai lelaki pengganggu. Yang tak henti-hentinya berbicara. Tapi sekarang, Dirga bukanlah seseorang yang seperti itu. Dirga adalah orang yang pertama kali ia hubungi ketika Tiara sedang membutuhkan bantuan seseorang. Dan Dirga juga orang pertama yang ia hubungi ketika sedang senang.

Banyak yang bisa terjadi dalam setahun. Kejadian di kereta membuat mereka mengenali satu sama lain. Ya, semua karena Dirga. Jika saja Dirga tidak ngotot meminta id linenya, mungkin mereka tidak akan berhadap-hadapan sekarang.

“Ra, aku nggak bisa romantis.” Dirga membuka pembicaraan.

“Ya emang siapa yang minta kamu buat romantis, Ga?”

Dirga mengangkat sebelah alisnya, “Kamu yakin nggak butuh cowok romantis?”

“Apaan sih, Ga.” Tiara menyeruput jus jambu biji yang ada di hadapannya.

“Ra, pacaran, yuk.”

Untung saja Tiara sudah selesai minum. Jika tidak, mungkin ia akan tersedak dan terbatuk-batuk sekarang. Tiara menunduk. Ia benar-benar tidak sanggup menatap Dirga. Pipinya pasti sudah bersemu merah. Jantungnya melompat-lompat.

Dengan sekuat tenaga, Tiara menahan diri untuk tidak berteriak dan meloncat. Sungguh, Tiara sangat ingin berteriak dan meloncat sekarang juga. Ia ingin memberitahukan kepada semua orang yang ada di sini bahwa ia sudah tidak jomblo lagi.

“Ra?”

“Eh? Iya.”

“Bagus, Ra. Sekarang aku punya pacar.” Dirga tersenyum lebar. Memperlihatkan giginya yang rapi. “Eh, pulang yuk, Ra.”

Tiara tidak heran. Bukan Dirga namanya jika lelaki itu mengajaknya nonton film, memberi bunga, atau apa pun itu. Dirga bukanlah orang yang seperti itu. Dirga adalah laki-laki yang rela menonton film yang sama ketika Tiara mengajak. Dirga adalah laki-laki yang rela mengikuti ujian susulan ketika Tiara sedang di rumah sakit. Dan Dirga adalah laki-laki yang tak akan bertanya macam-macam ketika Tiara sedang menangis.

***

8 Mei 2016

Ingatan-ingatan soal Dirga bergulir cepat dalam bayangan Tiara. Seperti sebuah film yang diputar kembali. Itu terlalu banyak. Semuanya terlalu banyak. Terlalu banyak untuk bisa dihilangkan.

***

8 Mei 2015
Entah sudah berapa kali Tiara menelepon Dirga. Tidak ada jawaban. Nomornya aktif. Tapi tidak diangkat. Ini sudah tiga jam. Tiga jam sejak pertama kali Tiara sampai ke sini. Tiga jam sudah dia menunggu. Tapi Dirga tak kunjung datang.

Ini aneh. Biasanya Dirga tidak pernah terlambat sampai selama ini. Tapi kali ini kenapa? Kenapa lelaki itu tak kunjung datang? Padahal Dirga berjanji akan mengajaknya menonton film, mengajaknya makan malam, dan membelikannya baju.

Tiara berpikir, mungkin jika ia menelepon sekali lagi. Dirga akan mengangkatnya.

Tut tut tut.

Tidak ada jawaban. Ke mana Dirga?



“Ra, bangun, Ra.”

“Eh? Kenapa, Ma?”

Seorang gadis yang umurnya enam tahun lebih muda Tiara langsung memeluknya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Tiara.

“An? Kamu kenapa?”

Gadis itu hanya menggeleng ketika ditanya.

***

8 Mei 2016

“Anna udah lulus SMA sekarang, Ga.” ucap Tiara.

“Dulu kamu takut kan, kalau dia nggak akan lulus? Dia lulus, Ga. Dia juga diterima di universitas yang dia pingin. Tinggal kamu nih, Ga yang belum lulus. Kamu kapan Ga dapet gelar sarjana? Aku janji deh. Akan temenin kamu kalau kamu wisuda.”

“Aku kan nggak sejahat kamu. Aku wisuda aja kamu nggak dateng. Kamu ingkar janji, Ga.”

“Ga, jawab dong. Aku nggak suka dikacangin gini.”

Tidak ada jawaban dari Dirga.

“Ga, kamu nyebelin banget sih, Ga. Nyahut kek kalau lagi diajak ngobrol.”

Yang diajak bicara sama sekali tidak menjawab.

“Gaaa, aku nggak lagi bercanda,” Bulir bening keluar dari sudut mata Tiara. Membasahi pipinya. Membuat bedak yang ia gunakan luntur. Semakin lama, bulir-bulir itu semakin banyak hingga membuat seluruh wajahnya basah.

“Ga, aku bodoh ya.”


*** 

0 komentar:

Post a Comment