Ibu, Harapanmu Sudah Terwujud.

Akhirnya, selama beberapa minggu mencari, kutemukan juga tempat ini. Jika bukan karena Ibu, aku tidak akan pernah mengunjungi tempat ini. Tidak sudi! Tapi, biarlah. Kunjungan ini akan menjadi kunjungan pertama dan terakhir, dan akan menjadi kunjungan yang sangat menyenangkan.

***

Aroma obat-obatan khas yang memuakkan menjalar masuk ke dalam lubang hidungku. Bau khas rumah sakit memang selalu membuatku ingin muntah.
Saat ini, aku sedang berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Dalam setiap langkah, aku pasti berpapasan dengan orang yang memakai baju putih. Bahkan, aku kadang berpapasan dengan orang yang seluruh tubuhnya tertutup kain putih dan terbujur kaku di atas tempat tidur.
Aku ngeri sendiri membayangkan hal itu terjadi pada Ibuku. Jika Ibu pergi, aku akan tinggal dengan siapa? Kugelengkan kepala kuat-kuat. Berusaha mengusir pikiran-pikiran buruk yang berkeliaran di dalam otak.

***

Langkahku terhenti. Pintu cokelat dengan nomor 304 sudah ada di depan mata. Aku mendorong pintu itu pelan-pelan. Seorang wanita paruh baya yang sedang terbaring, tersenyum ketika melihatku membuka pintu. Wajahnya sudah tidak secantik dulu lagi. Penyakit telah merampas wajahnya—bibirnya sudah tidak berwarna merah muda lagi, kulitnya tidak berwarna kuning langsat lagi. Dan omong-omong, wajahnya lebih pucat dari tadi pagi.
“Jasmine,” panggil Ibu pelan.
Aku menutup pintu. Kemudian berjalan mendekati wanita yang telah melahirkanku itu. lantas, mendaratkan pantat di kursi yang ada di samping tempat tidur Ibu. Mata sayu wanita itu menatapku dalam-dalam.
“Ibu ingin jujur padamu,” Ia menarik napas dalam-dalam. Dari wajahnya, ia terlihat merasa terbebani dengan apa yang akan dia ucapkan.
Aku menarik ujung-ujung bibirku. Ini pasti tentang ‘itu’. Tanpa Ibu bicarakan, aku sebenarnya sudah mengerti semuanya.
“Ayahmu masih hidup. Jika kau ingin mencarinya,” Tangan wanita itu merogoh-rogoh sesuatu dari balik bantal. “Ini fotonya.” Ia memberikan selembar foto hitam putih. “Maafkan Ibu, Jasmine.” Lelehan bening keluar dari ujung matanya. Kupeluk tubuh kurusnya. Kuusap-usap punggungnya—hal yang Ibu lakukan ketika aku menangis.
Seperti yang kuduga, lelaki yang secara biologis adalah ayahku, memang belum meninggal. Aku sudah menduganya. Ibu tidak pernah mengajakku pergi ke makamnya. Atau mendoakannya agar ia tenang di surga. Ibu tidak pernah bercerita tentang apa yang mengakibatkan pria itu meninggal. Sehingga aku membuat kesimpulan, bahwa pria itu belum meninggal. Dan kesimpulan kedua, Ibu berharap bahwa lelaki itu sudah meninggal.

***

Kuletakkan sebuket bunga di atas makamnya. Sudah dua hari lamanya Ibu pergi. Separuh jiwaku telah hilang. Kehampaan merasuk ke rongga dada. Seperti sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup. Jika kau bertanya apakah aku menangis, jawabannya adalah tidak. Aku sudah terlalu sedih. Sampai lupa caranya menangis. Bahkan, aku sudah lupa kapan terakhir kali aku menangis. Aku hanya sedih. Dan marah. Marah kepada seseorang yang bahkan tidak datang saat Ibu pergi.

***

Akhirnya, selama beberapa minggu mencari, kutemukan juga tempat ini. Jika bukan karena Ibu, aku tidak akan pernah mengunjungi tempat ini. Tidak sudi! Tapi, biarlah. Kunjungan ini akan menjadi kunjungan pertama dan terakhir, dan akan menjadi kunjungan yang sangat menyenangkan.
Dengan mengenakan jaket kulit berwarna cokelat, celana jin biru, dan sepatu berwarna hitam, Aku sedang berdiri di depan sebuah rumah sederhana bertingkat dua. Kutekan bel yang menempel di dinding—di samping pintu.
Seorang wanita yang kira-kira umurnya tiga puluh tahunan, dengan rambut ikal yang pirang membuka pintu. Bibirnya membentuk sebuah lengkungan. “Maaf, ada perlu apa?”
Kubalas senyum ramahnya dengan senyum sinis. “Aku mencari suamimu.”
“Siapa kau?” tanyanya sedikit berteriak. Ia memperhatikan penampilanku—dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Tidak penting aku siapa. Di mana suamimu?”
“Siapa kau?”
“Tidak penting aku siapa. Di mana suamimu?” Ucapku dengan nada yang makin meninggi.
“Siapa kau?” Ini sudah ketiga kalinya. Wanita itu tidak menjawab pertanyaanku. Ia justru mengulangi pertanyaannya.
“Kau melakukan suatu kesalahan besar, nyonya.”

***

“Kau pasti tidak mengenaliku, kan?” tanyaku pada seorang lelaki—yang harus kuakui—wajahnya mirip denganku—hidung mancung, mata cokelat terang.
Lelaki itu menggeleng.j
“Kau bahkan tidak mengenaliku! Ayah macam apa kau ini?”
“Kau Jasmine?”
Dia menyebut namaku! Dia menyebut namaku!
Aku mendengus, “Kau telah melakukan kesalahan yang besar! Kau meninggalkanku,” benda itu melayang ke arah kakinya. “Kau tidak pernah memberikan kasih sayang,” benda itu melayang ke arah perutnya. “Kau mencampakkan istrimu!” kali ini, benda itu melayang menuju dada kirinya.

***

Seorang gadis berambut pirang, sedang menangis tersedu-sedu. Dia pasti menderita. Tapi tentu saja, aku jauh lebih menderita darinya. Tapi, tenang saja. Aku akan menolongnya. Aku tidak akan membuat gadis ini menderita lebih lama lagi.

“Hai kawan, aku tidak akan membiarkanmu menderita. Pergilah bersama kedua orang tuamu. Itu lebih baik daripada kau hidup sendiri.”

***

“Ibu, harapanmu sudah terwujud.” Kuletakkan sebuket bunga di atas makamnya.

2 komentar:

  1. Yes! jadi komentator pertama Ocha!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
    komenku: itu kok pas ngelabrak bapaknya galak bgt sih, cha :(

    ReplyDelete
  2. ya kan, udah disakitin, mbak. jadi harus galak dong :'v

    ReplyDelete