“Ini adalah kereta terakhirmu!”
***
Akhirnya, aku bisa bernafas lega.
Kerumunan orang yang tadi bersamaku sudah hilang. Mereka pasti sudah menemukan
tempat duduk masing-masing. seorang pemuda yang mengenakan kemeja hitam menarik
perhatianku. Pandangan matanya tidak lepas dari ponsel yang digenggamnya.
Mungkin dia menunggu kabar dari kekasihnya. Lima menit lagi kereta ini akan
berjalan. Ia pasti khawatir jika kekasihnya tidak datang.
Tenang saja, Arthur. Kekasihmu sudah
ada di sini.
Aku mengecek saku celana. Memastikan
kalau benda itu masih ada dan tersimpan dengan baik. Bibirku melengkung ketika
menemukan benda itu masih tersimpan manis di dalam sana.
Kaki jenjang berbalut celana jeans ini membawaku menuju pemuda yang
sebulan lalu menyatakan perasaan padaku.
“Arthur,” Panggilku pelan. Aku
langsung mendaratkan pantat di tempat duduk yang ada di hadapannya. Ia menoleh
ke arahku. Kemudian melemparkan sebuah senyuman.
“Kukira kau tidak akan datang,
Ariana. Aku sudah khawatir sekali.” Ia kemudian memasukkan ponselnya ke dalam
saku celana.
Aku tersenyum, “Tentu saja aku
datang. Karena aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.”
Dahinya mengernyit. Ia menaikkan alis
sebelah kanannya. “Apa itu?”
Kubiarkan pertanyaan yang dilontarkan
oleh Arthur lenyap terbawa angin. Keretanya mulai bergerak. Kepalaku menoleh ke
luar jendela. Memandangi pemandangan yang dilewati oleh kereta ini. Kereta yang
sama seperti sebulan lalu. Sama seperti saat Arthur menyatakan perasaan padaku.
Kereta ini menjadi saksi bisu hubungan kita.
“Ariana? Bisakah kau menjawabku?” ia
bertanya lagi.
Kepalaku sama sekali tidak berpaling,
“Tunggu saja, kau akan segera mengetahuinya.”
***
Aku berdiri. Pandangan mataku menyusuri
setiap sudut kereta ini. Para penumpang sudah terlelap. Lagi-lagi, tanganku
meraba saku celana. Memastikan benda itu masih ada di sana. Syukurlah, benda
itu tersimpan dengan aman.
Kupakai sarung tangan putih yang sudah aku
siapkan. Kupandangi lekat-lekat sarung tangan itu. Sarung tangan yang selalu
menemaniku di saat-saat seperti ini.
“Mengapa kau memakai sarung tangan?”
Arthur bertanya.
Bodoh sekali kau Arthur! Bahkan kau sama sekali tidak menyadarinnya!
Aku menggosok-gosokkan tangan.
Kemudian menempelkan kedua tangan di pipi, “Aku hanya kedinginan.” Aku
tersenyum sembari rapatkan jaket hitam yang membaluti tubuh.
Ia hanya menganggukkan kepala.
“Ariana, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?”
Mataku memandang Arthur sekilas,
kemudian pandanganku beralih menuju ke luar jendela. Lagi. “Sebentar lagi kau
akan tahu, Arthur. Sebentar lagi.” Membayangkan apa yang akan terjadi setelah
ini, membuat jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.
“Bisakah kau menunjukkannya sekarang
saja?”
Kepalaku menoleh. Pandangan kami
bertemu. Tiga detik. Kemudian, aku menganggukan kepala. “Baiklah, ayo ikut
aku.”
Aku bangkit. Ia berjalan di
belakangku. Langkah kaki kami menusuri lorong kereta. Kami berhenti ketika sampai
di depan toilet. Pandangan mataku menyusuri setiap sudut kereta. Aman. Tidak
ada yang memperhatikan.
“Untuk apa kita ke sini?”
Aku mengeluarkan sesuatu dari saku. Dia
lebih tinggi sepuluh senti meter dariku. Posisi dadanya pasti pas di sini. Badanku
berbalik. Dengan gesit, aku menusukkan benda itu pada dada Arthur. Kupandangi
wajah Arthur, “Selamat tinggal, kekasihku.”
Pemuda itu menarik ujung-ujung
bibirnya. Tunggu, kenapa dia masih bisa tersenyum? Kuperhatikan pisau yang
menusuk dadanya. Aku tercekat ketika melihat seseuatu yang tidak lazim. Hatiku
mencelos.
Apa maksudnya ini? Pisaunya sama
sekali tidak menggores kulitnya. Dia? Dia memakai pelindung! Sial! Kenapa
aku tidak mengetahuinya? Kenapa bisa begini? A,aku gagal? Tetap tenang, Ariana.
Tetap tenang.
“Kaupikir aku sebodoh itu?” Arhur
dengan gesit menggenggam tangan kananku.“Kau pikir aku mencintaimu, Ariana?”
Arthur menunujukkan sebuah senyum sinis. Genggamannya semakin erat.
Tulang-tulangku seperti mau hancur. “Tidak! Aku sama sekali tidak mencintaimu!”
Ia memutar tangan kananku.
“Ah,”
Seorang Ariana tidak mungkin gagal.
Tangan kiriku mengambil pistol yang ada di saku jaket sebelah kiri. Tidak ada!
Aku menelan ludah. Tidak mungkin! Aku yakin, tadi pistol itu ada di sini!
Kurasakan keringat mulai bercucuran.
“Kau mencari ini?” Arthur menunjukkan
sebuah pistol. Itu pistolku! Pistol itu menunjuk ke perutku. Jari telunjuk
Arthur menarik pelatuk pistol itu.
DOR!
“AAHHHH!” Sakit sekali. Peluru pistol
itu menembus perutku. Darahku bahkan menyembur membasahi kemeja hitamnya.
Lelehan bening mengalir di sudut mataku. Kenapa dia tidak langsung menembak
jantungku saja?
“Kaukira, hatiku akan melumer
melihat air mata palsumu itu, Ariana?” Arthur tertawa terbahak-bahak.
Sial! Kenapa aku yang menjadi seperti ini? Harusnya dia yang menanggung semua kesakitan ini. Dia yang harusnya merenggut nyawa di kereta ini.
Sial! Kenapa aku yang menjadi seperti ini? Harusnya dia yang menanggung semua kesakitan ini. Dia yang harusnya merenggut nyawa di kereta ini.
“Kau terlalu bodoh, Ariana. Kau tidak
sadar jika kau dijebak. Asal kau tahu saja, aku tidak pernah mencintaimu.”
Arthur tertawa lagi. Kali ini, tawanya lebih keras dari sebelumnya. Pistol itu
kini tepat berada di dadaku.
“Selamat tinggal, pembunuh bayaran. Ini
adalah kereta terakhirmu!”
Cerpen ini diikutkan dalam tantangan kampus fiksi #KeretaAksara
0 komentar:
Post a Comment