[Fanfiction] Melancholy


Jin mengembuskan napas keras-keras. Ia menyesali perbuatannya dua hari lalu. Saat ia menjemput Arin--sahabatnya sekaligus orang yang disukainya--dari stasiun, karena ia baru saja liburan dengan teman-temannya.
Seharusnya Jin tidak mengatakan itu. Dua hari lalu, seharusnya mereka bisa mengobrol tanpa perasaan canggung. Bergurau seperti biasanya, tanpa kecanggungan satu sama lain. Tapi momen itu dihancurkan oleh Kim Seokjin. Lelaki itu mengatakan sesuatu saat mereka berdua makan.
***
Seokjin berdeham, menyiapkan diri untuk segala sesuatu yang akan terjadi beberapa detik ke depan. Berharap semua akan baik-baik saja.
“Arin?”
“Ya?” Arin masih sibuk memotong-motong steak yang tadi ia pesan.
“Boleh aku bicara sesuatu?”
Arin menghentikan aktivitasnya. “Bukankah sejak tadi kau sudah bicara?”
Seokjin menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ia bingung harus mulai dari mana. Padahal saat di rumah tadi, seluruh kata-kata sudah ia susun dengan rapi, dan telah ia siapkan dengan baik.
“Arin?”
“Hm?”
“Aku tahu ini salah. Tapi,” Seokjin berdeham lagi. “i chose to be your friend. But sorry, im falling for you.
Arin langsung menghentikan aktifitasnya. Ia ikut berdeham, “Sebentar, aku mau ke kamar mandi.”
***
Yah, begitulah persahabatan antara lelaki dan perempuan. Akan ada salah satu yang mencintai. Atau jika beruntung, keduanya saling mencintai. Seokjin sudah lama memendam perasaan ini. Wajar saja, mereka sudah bersahabat sejak SMA. Sekarang keduanya sudah lulus kuliah dan memiliki pekerjaan masing-masing.
Sepertinya, perasaan Seokjin hanya berjalan satu arah. Terlihat dari wajah si gadis yang langsung tidak nyaman begitu Seokjin mengungkapkan perasaannya. Ia bahkan langsung memilih untuk pergi ke kamar mandi. Parahnya, setelah itu Arin hanya terdiam selama perjalanan pulang.
Sungguh bukan Arin yang biasanya. Gadis itu biasanya cerewet, bercerita banyak hal. Tapi saat itu--setelah Seokjin mengatakan yang sejujurnya--hanya ada satu kata yang keluar dari mulutnya;terimakasih. Hanya seperti itu. Setelahnya ia masuk rumah tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Jika saja Seokjin tahu diri dan tetap menutupi perasaannya, mungkin hari ini sang gadis akan datang bersama teman-temannya, membawakan kue ulang tahun tepat jam dua belas. Seperti yang dia lakukan biasanya.
"Kau ini kenapa? Sedang ulang tahun bukannya gembira tapi justru seperti ini?" Suga, salah satu teman Seokjin yang datang, bertanya. Menyadarkan Seokjin dari lamunannya soal kejadian dua hari lalu.
Seokjin hanya menggeleng. Lalu tersenyum, "Tak apa."
"Berkelahi dengan Arin?"
Ah, temannya yang satu ini tidak pernah salah menebak.
Tiba-tiba, krim roti mendarat di wajah Seokjin.
"Ayo kita serang yang ulang tahun!" Taehyung sangat bersemangat. Ia mengusapkan semua krim yang ada di tangannya pada wajah Seokjin.
"KIM TAEHYUNG!" Jin berteriak, diselingi dengan tawa. Lalu membalas perbuatan Taehyung. Yah, begitulah ulang tahun Seokjin malam itu. Tanpa Arin. Sejak awal kenal dengannya, baru kali ini Arin absen di hari ulang tahunnya.
***
"Seokjin, ada Arin,” kata Ibu Seokjin dari bibir pintu kamar.
Lelaki yang saat itu tengah tertidur langsung sadar dan buru-buru bangkit, melangkahi teman-temannya yang masih tertidur pulas. Ia buru-buru mencuci mukanya dan keluar kamar menuju ruang tamu untuk menemui Arin.
Gadis yang saat itu sedang memerhatikan keluar jendela menoleh begitu Seokjin datang. Ia langsung memberikan sebuah bingkisan yang ia bawa. "Selamat ulang tahun."
Jin mengangguk. Sungguh. Ini benar-benar canggung. Seolah ada dinding yang memisahkan mereka berdua. Lagi-lagi, Seokjin menyesali kalimat yang ia keluarkan dua hari yang lalu.
Tiba-tiba saja Arin menunduk. Gadis itu terisak. "Seandainya saja kau mengatakannya lebih cepat." Arin berkata terbata-bata. Tangisnya makin menjadi.
"Maaf," Arin memberi jeda, "Aku tunangan minggu depan." Gadis itu semakin terisak, bahunya naik turun.
Dunia seolah runtuh. Lelaki yang hari ini ulang tahun itu berharap bahwa telinganya salah dengar. Ia berharap bahwa semua ini hanya mimpi. Tapi, sosok Arin di depannya begitu nyata. Suara tangisnya begitu nyata. Dada Seokjin begitu sesak, seolah ada batu di sana. Bahunya terasa berat, seolah ada beban yang menimpanya.
Ayolah Arin, katakan bahwa semuanya hanya kebohongan.
Satu. Dua. Tiga.
Nihil.
Yang ada, tangis Arin makin kencang.
"Boleh aku memelukmu untuk terakhir kali?" Seokjin merentangkan kedua tangannya.
***

FIN


0 komentar:

Post a Comment