Kirishima
Touka berjalan pelan dengan sedikit berjingkat, ia tidak ingin melewatkan
begitu saja pemandangan yang tersaji di kanan kirinya—pohon-pohon sakura yang
kelopak bunga sedang bermekaran. Memang itulah tujuan dia ke sini. Untuk
melihat mekarnya bunga sakura.
Matanya menyapu
sekeliling. Hatinya sedikit ngilu ketika melihat sekumpulan orang sedang
berhanami[1].
Di seberangnya, tempat sebuah keluarga yang sedang bercengkrama sembari
menikmati makanan yang mereka bawa. Di samping kanan ia berdiri, ada sepasang
kekasih yang sedang berfoto bersama di bawah naungan pohon sakura. Orang-orang
di sekitarnya tidak sendirian. Mereka ke sini membawa keluarga, teman, atau pun
kekasih mereka. Sementara dirinya?
Touka sendirian.
Bukannya ia tak ingin mengajak siapa-siapa. Tapi, memang tidak ada seseorang
yang tepat untuk diajak ke sini. Shinjuku Gyoen National Park. Kakaknya, Ren
telah pergi entah ke mana. Ibu dan ayahnya sedang sibuk mengurusi kedai mereka.
“Hai. Kau sendirian?”
Seorang pemuda berhidung mancung dan berambut hitam mengajaknya bicara.
Touka menolehkan
kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia tidak
melihat orang lain yang sendirian selain dirinya. “Kau bicara denganku?”
telunjuk Touka menunjuk hidungnya.
Pemuda yang
mengenakan baju berwarna hitam itu mengangguk. Rambutnya yang berwarna hitam
itu ikut bergerak seirama dengan anggukan kepalanya.
Aneh. Kenapa
tiba-tiba ada orang yang mau berbicara dengannya? Bahkan, ia sama sekali tidak
mengenal pemuda yang ada di hadapannya ini. Touka berusaha untuk tidak peduli.
Ia kembali memperhatikan bunga-bunga sakura yang bermekaran.
“Kirishima,” panggil
pemuda itu. Touka menoleh. Ia heran. Mengapa pemuda ini tahu namanya?
“Dari
mana kau tahu namaku?”
Pemuda itu
menghembuskan napas. “Sudah kuduga. Kau pasti lupa denganku.”
Touka menautkan kedua
alisnya. Ingatannya benar-benar payah. Ia sama sekali tidak mengingat pemuda
berambut hitam ini.
“Apakah kau pernah
kehilangan Idcard?”
“Kau yang
mengembalikannya?” Touka akhirnya mengingat pemuda ini. Dia adalah pemuda yang
mengembalikan idcardnya. Pemuda ini
satu sekolah dengannya. “Maaf, tapi aku lupa namamu.”
“Hajimemashite, watashi wa Kaneki Ken desu.[2]”
Pemuda yang ternyata bernama Ken ini membungkukkan badannya.
Gadis berambut
cokelat itu hanya terdiam. Ia mengalihkan pandangannya dari Kaneki—yang
sekarang sudah tidak membungkuk lagi.
“Kaneki, kenapa kau
berbicara denganku?” Touka akhirnya bertanya.
“Aku sendirian. Kau
juga sendirian. Kenapa kita tidak berteman saja?”
***
“Touka, cepatlah.
Temanmu sudah menunggu di luar.”
Gadis barambut sebahu
itu berjalan cepat ke luar sembari menggendong tas. Ia kemudian memakai sepatu
putihnya.
“Aku berangkat!”
Teriak Touka setelah selesai memakai sepatunya. Ia lantas melangkahkan kaki ke
luar rumah.
“Hati-hati,” sahut
Ibunya dari dalam rumah.
“Ohayou[3],
Touka-chan.” Ken menarik ujung-ujung bibirnya membentuk sebuah lengkungan
ketika Touka sudah berdiri di depanya.
“Ohayou. Kau seharusnya tidak menghampiriku sepagi ini. Kau
membuatku gugup.” Gadis itu melangkahkan kakinya lebar-lebar—berusaha
meninggalkan Ken.
Pemuda berambut hitam
itu berusaha mensejajari langkah Touka yang semakin cepat. “Aku juga tidak
menyuruhmu untuk cepat-cepat.”
“Tetap saja kau
membuatku gugup.”
Tangan Ken mendarat
di atas kepala Touka. “Kau manis sekali jika sedang kesal seperti ini.” Ia
kemudian mengacak rambut cokelat itu.
“Jangan kira dengan
memujiku, aku akan memaafkanmu.”
***
Di bawah pohon sakura
yang belum berbunga, Gadis berambut cokelat itu menyerahkan bento[4]
berwarna ungu pada pemuda yang sepuluh senti meter lebih tinggi darinya. “Ini, Kau pasti lapar.”
Ken yang sedang
mengerjakan PR bahasa Inggrisnya menghentikan pekerjaan sejenak. Ia kemudian
meraih benda yang diberikan oleh Touka. “Arigatou,[5]”
Beberapa Tamagoyaki[6]
tersaji ketika Ken membuka tutup kotak bekal itu. “Kau membuatnya sendiri?”
Touka hanya
mengangguk. “Tapi ini tidak gratis.”
Ken yang sedang
mengunyah Tamagoyaki hampir tersedak.
Ia tidak menyangka temannya ini perhitungan. Terlebih lagi, uangnya telah habis
untuk membeli minum. “Aku harus bayar berapa?”
“Kau hanya perlu
membayarnya dengan mengajariku Bahasa Inggris. Kau tahu, ‘kan, aku tidak pandai
mengingat?”
Ken hanya mengangguk.
Ia tidak bisa bersuara karena mulutnya sedang penuh.
***
“Arigatou, kau sudah mengantarkanku pulang.” Ucap Touka ketika
mereka—dia dan Ken—sudah sampai di depan rumah Touka.
“Bukankah ini sudah
menjadi kebiasaan? Kenapa kau masih saja berterima kasih?”
Touka tidak menjawab
pertanyaan Ken. Ia membiarkan pertanyaan itu hilang terbawa angin.
“Aku pulang dulu.
Sampai jumpa besok.” Ken berjalan menjauh.
Touka menatap
punggung Ken yang semakin lama semakin jauh. Ia kemudian memasuki rumahnya
ketika punggung sosok Ken sudah tidak terlihat lagi.
***
“Touka-chan,” Panggil
Ken.
Gadis yang merasa
namanya dipanggil itu menoleh. Ia memandangi Ken lekat-lekat. Menunggu
kata-kata yang dikeluarkan oleh Ken selanjutnya. Karena yang ditunggu tak
kunjung datang, Touka kembali menekuni PR matematikanya.
“Touka-chan,” Ken
memanggil lagi.
Touka memutar bola
mata. Kemudian menolehkan kepala. “Ada apa?”
Ken menatap mata
hitam terang itu. “Aku mencintaimu.” Ia bernapas lega karena akhirnya kalimat
itu meluncur dari bibirnya. Walaupun ia yakin, ada semburat merah di pipinya.
Kalimat yang
diucapkan Ken dibiarkan saja. Touka belum merespon. Ia tidak tahu apa yang
harus dikatakannya pada Ken.
Sepuluh detik itu
dibiarkan begitu saja. Belum ada yang bicara. Masing-masing dari mereka sibuk
dengan pikirannya sendiri. Keakraban yang biasanya terjadi tergantikan oleh
rasa canggung.
Touka menarik napas,
ia berharap Ken bisa menerima ini. “Gomen
ne[7],
aku tidak mencintaimu.” Ia memasukkan buku-buku dan alat tulisnya ke dalam
ransel berwarna biru. Ia menggendong tas itu. Kemudian bangkit dan meninggalkan
Ken yang punggungnya masih bersandar pada pohon sakura.
Kepala Ken menunduk.
Memandangi rumput hijau yang menghiasai taman ini. Hatinya pedih. Ia merasakan
hatinya kosong. Seperti ruangan yang tidak terisi. Ia tidak menyangka jika
perasannya tak terbalas. Dari semua perhatian yang Touka berikan, gadis itu
hanya menganggapnya teman?
Pohon sakura yang
belum berbunga yang berada di halaman belakang sekolah itu menjadi saksi bisu
penolakan cinta Ken.
***
Sungguh, Touka merasa
bersalah dengan Ken karena ia tidak bisa membalas perasaannya. Ia juga tidak
tahu, jika pertemanan mereka bisa membuahkan perasaan cinta sepihak. Touka
menatap langit-langit kamarnya. Ia masih tidak mengerti kenapa Ken bisa mencintainya.
Yang lebih membuatnya
bingung adalah tentang apa yang harus ia lakukan setelah ini pada Ken. Ia tidak
mungkin bisa berteman lagi dengannya seperti dulu. Pasti semua akan berubah. jika
ia datang pada sahabatnya, mungkin Ken akan berharap lebih padanya. Ah, Kenapa
Ken harus menyatakan cinta jika harus merusak persahabatan ini?
Touka menghembuskan
napas keras-keras. Ia harus menjauhi Ken. Ia tidak ingin pemuda itu berharap
lebih padanya. Tapi jika ia menjauh, dengan siapa lagi ia harus berteman? Teman
satu-satunya adalah Kaneki Ken. Baiklah, mungkin Touka akan sendirian lagi
seperti sebelumnya. Seperti sebelum Ken datang. Kesepian yang akan menjadi
temannya.
Setelah kejadian itu,
Touka berangkat sekolah pagi sekali. Ia berangkat sekolah sebelum Ken mendatangi
rumahnya. Ia tidak ingin bertemu Ken.
***
Touka berjalan ke
halaman belakang sekolah. Ia ingin duduk di bawah pohon sakura itu. Tapi, kedua
kaki telah membawanya pergi menjauhi saksi bisu penolakan cinta Ken ketika
melihat punggung pemuda itu sedang
bersandar pada batang pohon sakura. Sebenarnya, ia ingin duduk di samping Ken.
Tapi, Touka masih belum siap untuk bertemu.
***
Musim semi sudah
datang lagi. Bunga sakura sudah mulai bermekaran. Touka ada di sini. Shinjuku
Gyoen National Park. Ia membiarkan rambut sebahunya itu diterbangkan oleh
angin. Ia sedang menunggu seseorang. Menunggu pemuda yang setahun lalu
mengajaknya berkenalan di sini.
Harusnya Ken datang
ke sini. Duduk di sampingnya dan berhanami bersama. Harusnya, pada hari ini
hubungan mereka membaik. Karena Touka akan meminta maaf lagi pada Ken dan
menyatakan perasaannya. Iya, Touka mencintai Ken. Entah mengapa, perasaan itu
muncul ketika ia menjauh dari Ken.
Pandangan Touka
menyapu sekitar. Ia tidak menemukan pemuda yang ditunggunya. Ke mana pemuda
itu?
Ken ada di sini.
Dengan aliran darah yang ada di kepalanya, ia terbaring lemah di jalan. Napasnya
baru saja berhenti. []
0 komentar:
Post a Comment